Selasa, 29 Maret 2022

Write #2 | Dealing with "What if ..." Questions #OfflineCollegeEdition

When I tried to foresee the upcoming 14 days, it was like ... "This should have happened one and a half years ago, shouldn't it?" And then those thoughts came up.

Would it be different if it happened earlier? And ... actually, haven't I wished for this for such a long time? But why do I feel so uncertain about it, and somehow ... scared?

I wouldn't deny that I've always wanted to experience offline college. But when the time is finally coming up, why do these worries start to fill up my head every night?

Seperti sebuah tempat yang dari jauh tampak begitu berkilau, menjanjikan banyak bahagia tanpa kata, menjadi arah tuju yang tampaknya sebagian besar orang pun setuju. Namun, begitu jarak sudah hanya tinggal menghitung hari, kenapa rasanya yang diinginkan hanya untuk berbalik dan melarikan diri?

-----------------------------------------------------

Hari ini, empat belas hari menuju hari pertama kuliah luring bagi angkatanku. Kuliah tatap muka perdana yang tertunda satu setengah tahun. Ya, rentang waktu yang tidak sebentar, jauh lebih dari cukup untuk beradaptasi dengan segala dinamika kuliah, dosen, teman-teman, dan segala kegiatan lainnya. Belum lagi, status sebagai mahasiswa tahun kedua berarti kami sudah tidak lagi menyandang gelar "mahasiswa baru". Seharusnya, ya, seharusnya, mungkin "drama"-nya tidak akan seperti situasi yang sama di kuliah tahun pertama.

Tetapi ya, di hidup ini, yang namanya "seharusnya" itu memang tidak selalu mewujud dalam realitas, kan?

Kalau tidak ingat bahwa kata-kata itu adalah doa, mungkin beberapa paragraf berikutnya akan berisi "'What if ...' questions" bertemakan berbagai kekhawatiran, ketakutan, dan kegalauan yang sempat melintas di kepalaku akhir-akhir ini tentang kuliah luring.

"Tapi memang sebenarnya apa masalahnya, Ki?"

Sebenarnya, kalau aku mau menyempatkan untuk merenungkan jawaban dari pertanyaan itu, aku tahu, ada banyak hal yang bisa kusebutkan.

Satu hal yang sudah sangat jelas: rutinitas. Seterbiasa apa pun dengan dinamika kehidupan perkuliahan, daring dan luring punya perbedaan yang tidak sesederhana perbedaan "d" dengan "l" atau "a" dengan "u". Jarak fisik sudah jelas, tetapi bahkan satu hal itu saja pun tidak sesederhana kedengarannya.

Dalam interaksi langsung, ada persoalan tentang jarak, tatapan dan kontak mata, sentuhan, aroma, model dan warna pakaian. Ditambah intonasi dan artikulasi suara yang jadi begitu penting ketika tulisan tak lagi jadi opsi untuk berkomunikasi. Belum menghitung kebersihan dan kerapian yang tak begitu kentara di balik layar, tetapi jadi krusial ketika berhadapan secara langsung.

Perlu adaptasi yang tidak mudah untuk menyesuaikan diri dan menempatkan kepedulian terhadap pemikiran orang lain pada porsi yang tepat. Ya, apalagi bagi yang punya kecenderungan perfeksionis, seperti aku misalnya.

Ada satu yang lupa kusebutkan tadi. Perasaan. Saat berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan peran atau posisi tertentu baik secara hierarki jabatan maupun persepsi pribadi hati, sering kali ada perasaan yang terlibat di sana. Aku bakal geli sendiri kalau menyebutkan satu-satu bentuk komplikasi reaksinya, tapi yah, kamu pasti tahu lah ya. 😇

Oke, apa lagi?

Sepertinya masih banyak, tapi berhubung kalau membicarakan kompleksitas interaksi langsung itu sebenarnya bisa jadi satu tulisan sendiri, let's move on.

Kembali lagi soal rutinitas. Tadi baru tentang jarak fisik. Bagaimana dengan rutinitas harian? Jam tidur dan jam bangun pagi–itu pernah disinggung juga oleh teman kuliahku waktu kelas–, durasi mandi, berdandan, sarapan, dan makan siang, belum lagi mempersiapkan barang bawaan–lengkap dengan pikiran berulang seperti radio rusak di kepala: "Ada yang ketinggalan enggak ya?" "Udah semua belum ya?" "Ada yang kelupaan enggak ya?"

Terdengar familier?

Tepat, throwback kerusuhan di pagi hari saat siap-siap berangkat sekolah, HAHAHA.

Masih banyak lagi sebenarnya, tapi aku mau menyimpulkan keseluruhannya saja.

Pada akhirnya, aku tahu, "seharusnya" yang kusebutkan di awal itu memang tidak akan jadi semudah itu. Terlalu banyak perubahan, perbedaan, dan kesenjangan antara kegiatan daring dengan luring. Itu baru dari perspektifku sebagai mahasiswa tim pulang-pergi kampus-rumah. Bagi mahasiswa perantauan yang harus ngekos, seperti sebagian besar temanku, tantangannya lebih kompleks lagi, meliputi kehidupan sehari-hari yang harus serbamandiri.

Apakah dengan tahu semua ini, semuanya akan jadi lebih mudah untuk dihadapi? Terus terang, aku tidak tahu.

Tapi yang aku tahu, dari hari ini, sampai hari itu, masih ada waktu yang bisa dimanfaatkan. Mempersiapkan banyak hal, termasuk mental.

Omong-omong soal persiapan, sebenarnya bagiku pribadi, ada beberapa hal lain yang juga menjadi pertimbangan tersendiri untuk menghadapi hari tersebut. Latar belakangku sebagai mantan homeschooler dua belas tahun yang sempat mengira masa-masanya sebagai anak rumahan akan usai, tetapi ternyata ada tambahan bonus kejutan homecollege selama satu setengah tahun, jelas akan sangat berpengaruh.

Tapi ya, semuanya perlu proses. Hari ini, aku belum bisa bilang aku 100% siap, tetapi nantilah, kita lihat hari-hari ke depan.

Nevertheless, I'm still grateful that it seems like we're still granted the chance to experience "real college" before we get to leave it, though. All praises to Allah. 🍃