Selasa, 27 Desember 2022

[Rewinding 2022] Episode #1B: About Being A Third-Year College Student

 📸 Semester 5

Dari masa ke masa, semester 5 itu sepertinya sangat sering disebut-sebut sebagai semester yang berat. Karena itulah aku beberapa kali bertanya-tanya akan seperti apa semester 5 kali ini dengan kurikulum yang baru, dengan angkatanku yang menjadi "kelinci percobaan" (untuk kesekian kalinya).

Yang jelas, kurikulum baru ini membuat semua mata kuliah wajib selain Penyusunan Proposal Penelitian, KKN, dan Skripsi, sudah dituntaskan di empat semester pertama. Tidak ada lagi beban mata kuliah praktikum atau segala macam prospek yang dulu jadi beban semester 5 karena semuanya sudah kami selesaikan.

Jujur, kadang aku tidak tahu apakah itu ironi atau bukan. 🙂

Yang jelas, semester ini memang tidak seperti semester-semester sebelumnya. Banyak di antara anak angkatanku yang mengambil jalur program MBKM terlebih dahulu, menyebar ke luar kota, bahkan sampai ke luar negeri. Sebagian besarnya, termasuk aku, memilih stay untuk mengambil mata kuliah pilihan dulu—meskipun ada pula yang mata kuliah pilihannya lintas prodi, bahkan lintas univ.

Bagiku sendiri, jauh sebelum semester 5 ini tiba, sebenarnya aku sempat sangat takut. Aku tahu, mata kuliah pilihan itu punya kuota tersendiri, tidak seperti mata kuliah wajib. Berbagai cerita dari kakak tingkat tentang proses war dalam pengisian KRS mata kuliah pilihan ini menambah ketakutanku. Kalau tidak salah, dari semester 3 :)

Sejak sebelum kuliah, salah satu ketakutan terbesarku adalah "terjebak" dalam suatu kelas yang benar-benar bukan pilihanku dan tidak sesuai dengan kemampuanku. Kalau dulu kekhawatiranku adalah soal prodi, kemarin adalah soal mata kuliah. Aku sudah tahu daftar prospek mata kuliah pilihannya, dan aku sudah menemukan juga mana yang tidak kuminati. 😂 Aku tidak tahu mana yang lebih kutakutkan waktu itu: tidak mendapatkan mata kuliah yang kuinginkan, atau "terlempar" ke mata kuliah yang tidak kuinginkan.

Complicated. Ketakutan itu juga yang jadi penyebab aku sempat sangat benci bahasan mengenai masa depan setelah semester 4 usai, sampai benar-benar merasa tertekan dengan urusan satu itu.

Kurikulum baru ini kurasa memang mempercepat "life choice crisis" mahasiswa, ketika jadi harus memikirkan pilihan untuk masa depan jauh lebih awal dibanding angkatan-angkatan sebelumnya, yang mungkin baru akan bersinggungan dengan hal tersebut secara resmi setelah menyelesaikan skripsi. Aku sendiri, sebenarnya tahu arah minat dan kemampuanku, tetapi kegamangan, keresahan, dan rasa ketidakpastian tentang pilihan-pilihan ini bukan berarti jadi tak kualami.

Waktu masa pengisian KRS semester 5 (yang benar-benar membuatku gelisah sekian lama)yang sebenarnya sudah kuduga tidak akan semulus itutiba, ternyata benar-benar berujung chaos dan menghasilkan badai frustrasi yang sepertinya seketika melanda semua orang. Yea, war kuota benar-benar terjadi. Diperparah dengan waktu pembukaan KRS yang tidak sesuai ekspektasi kami semua. Alhasil, hanya yang beruntung sedang mengeceknya, yang mendapat kabar dari yang mengecek, dan yang sinyalnya mendukung saja yang berhasil men-tag matkul incaran masing-masing—yang umumnya jadi incaran mayoritas penghuni angkatan juga :")

To be honest, hari-hari itu, yang terjadi di sekitar minggu kedua-ketiga Agustus, jadi salah satu rangkaian momen paling kelam bagiku sepanjang sejarah perkuliahan. Thank God, waktu itu pilihanku memang aman. Rasa takutku yang berkaitan dengan pilihanku sendiri bisa dibilang tidak terjadi, atau setidaknya masih cukup bisa ditoleransi. Tapi keresahanku justru berlipat ganda setelahnya. Melihat teman-temanku sendiri yang tidak sempat kebagian kuota.

Aku jadi tidak bisa merasa senang lagi dengan pilihan-pilihanku yang sudah aman, tergantikan rasa tidak enak. Well, sebenarnya hal ini mungkin harusnya "wajar", it's part of "life", tapi tetep aja ya ... aku tetap tidak bisa tenang setelahnya.

Oke, fast forward, intinya sebenarnya semua drama KRS itu berakhir baik karena dosen-dosen matkul terkait akhirnya menambah kuota sehingga akhirnya semuanya kebagian. Tapi yaa behind the scene sebelum itu memang sempat lumayan berat dan meresahkan deh, beneran. Aku aja senewen sendiri, entah gimana perasaan teman-temanku yang waktu itu belum kebagian, dan ketua angkatan yang harus mengurusi semua kekusutan yang terjadi 🥲

Long story short, seperti yang sudah kutuliskan sebelumnya, di semester 5 ini 100% mata kuliah yang diambil adalah mata kuliah pilihan, kecuali bagi yang mengambil mata kuliah mengulang. Seperti aku.

Ya, aku mengambil lagi salah satu mata kuliah semester 3 yang nilainya harus kuperbaiki. Psikometri. Alhamdulillah-nya sih, SKS-nya tidak terlalu besar, jadi aku masih bisa cukup leluasa mengambil matkul pilihan lain yang kuinginkan.

Selain Psikometri dan juga KKN, aku mengambil delapan matkul pilihan. Semuanya masih di area yang memang cukup menarik minatku, jadi secara materi, aku bisa cukup menikmati prosesnya. Yaa kecuali salah satu, yang akhirnya kulepas melalui PKRS dan kutukar dengan matkul lain yang jadwalnya sama. Ada dua alasan waktu itu yang membuatku melepasnya: satu karena aku memang merasa sangat asing dan senewen bahkan di pertemuan pertamanya, dua karena ada tanggal penting yang bentrok dengan opening event yang kuketuai 🙏🏻

HAHAHA, yang itu sebenarnya aku merasa agak bersalah juga karena seharusnya kan matkul > event yaa, tapi kebetulan materinya sendiri juga sangat bukan aku banget setelah menelusuri silabusnya, so yes, begitu ada kesempatan pindah, aku langsung mengambilnya tanpa pikir panjang lagi.

Di luar itu, matkul lainnya secara umum memberikan banyak pengalaman baru, meski suka-duka dan peliknya juga sangat banyak.

Hari Senin jadi hari paling padat bagiku karena aku mengambil tiga matkul: Personal Strengths for Personal Development, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, dan Psikolinguistik Perkembangan.

PSPD sebenarnya bisa dibilang matkul paling santai, paling positif, dan sangat self-improvement vibes, enggak terlalu membebani, malahan aku dapat banyak sarana refleksi diri dari matkul ini. Psipen ABK, yang paling menarik mungkin karena matkul ini dua kali membuat kami harus berkomunikasi secara langsung dengan orang-orang yang terlibat dengan pendidikan ABK, malah ada pula yang harus dengan ABK-nya langsung.

O ya, sistem perkuliahan semester 5 ini mayoritas full daring, khususnya pada matkul-matkul yang kuambil, tetapi kami bisa melaksanakan tugas secara luring, dan beberapa UAS-nya juga ada yang dilaksanakan secara luring.

Jadi, itu juga yang kelompokku lakukan ketika harus mengambil data untuk matkul Psipen ABK ini. Sekali waktu memang masih lewat Zoom, tapi kemudian kami mendatangi langsung sebuah SLB untuk pengambilan data itu. Satu pengalaman yang sangat menyentuh hati, jujur.

Nah, untuk Psikolinguistik Perkembangan ... kayaknya ini matkul yang personally paling menghadirkan drama buatku. 😂 Matkul ini juga memberikan tugas mengambil data, dan untuk yang ini kami harus mendatangi langsung beberapa TK untuk menemui siswa-siswanya secara langsung.

Petualangan mendatangi TK-TK ini dramatis banget sih, kalau buatku pribadi. Dari mulai terlambat, salah memahami prosedur yang membuatku harus kembali dulu ke Fapsi dari TK-nya (lalu kembali lagi ke TK itu karena ingin memanfaatkan waktu biar enggak potek banget), kehilangan uang, nyasar, jalan kaki sekian kilometer ... well memang enggak terlalu major, tapi bagiku yang baru kali itu menjelajahi dunia luar setelah sekian lama kuliah daring, those were such the experiences.

Setelah itu, untuk proyek UAS lain lagi. Drama-drama baru yang masih berhubungan dengan mobilitas dan teknis, tapi sangat menguras deh pokoknya.

Apakah aku jadi benci matkulnya?

Nah, ini justru uniknya. Aku sama sekali enggak jadi benci matkulnya, WKWKWK. Yaa karena walau bagaimanapun, ini "psiko-linguistik". Kombinasi dari dua hal yang menurutku sangat menarik, terlebih aspek bahasanya memang benar-benar terasa dari setiap proses pengambilan data dan juga pembuatan proyek UAS kelompokku yang berupa produk games super seru dan dipresentasikan melalui pameran poster secara luring. So it was really fun, I do still love this study.

Move forward, adalah matkul Psikometri di hari Rabu karena tidak ada matkul pilihanku yang mengambil jadwal Selasa untuk pertemuan reguler semester ini.

Gimana rasanya mengambil kelas mengulang?

Hmmm ... yang jelas, yang paling terasa itu kesepian :D

Yaa karena tahun sebelumnya aku punya teman yang bisa ditanya, yang terasa "ada" bareng-bareng di sana di setiap pertemuan. Di kelas mengulang, meski aku kenal banyak adik tingkat, aku tetap cenderung sendirian. Materinya sendiri sebenarnya sama saja, meskipun memang ada beberapa metode yang berbeda dibanding tahun sebelumnya dan beberapa kali bikin aku culture shock sekaligus stres karena materinya sendiri memang masih tetap sulit kupahami. :")

Rabu sore saat kelas itu usai selalu jadi momen kelegaan hebat bagiku, yaa karena akhirnya masih seminggu lagi sampai bertemu dengan matkul satu itu lagi. 😇

Hasilnya sendiri, aku belum tahu, tapi yang aku tahu adalah prosesnya tidak mudah bagiku, dan akan lebih menyenangkan kalau urusan dengan materi tersebut cukup sampai di situ dulu saja. :") Sebenarnya materinya tuh menarik, tapi karena sejak dulu aku memang sangat lemah di materi yang berhubungan dengan rumus-rumus semacam itu, yaa gimana....

Selanjutnya, hari Kamis, adalah matkul Parenting 101. Sesuai namanya sih, matkul ini benar-benar mengupas segala hal soal parenting. Ada banyak momen kontemplasi dan juga insight menarik selama pembelajarannya, meskipun bagiku sendiri bakal lumayan challenging kalau misal diturunkan jadi topik skripsiku. :") Tapi secara pengetahuan dan engagement di kelas, bagiku matkul ini cukup setara dengan PSPD deh pokoknya.

Hari Jumat, sebenarnya hanya ada dua matkul. Psikologi Religiusitas Islam dan Aplikasi Psikologi Perkembangan (matkul yang kuambil di PKRS menggantikan matkul sebelumnya). Tapi selama bulan September, ada satu matkul spesial yang mengambil waktu di hari Jumat juga selama tiga-empat minggu untuk kemudian ada sesi kuliah istimewa yang diadakan secara luring selama lima hari berturut-turut bersama dosen yang diundang dari Belanda. Interpersonal Relationship.

Such an intriguing title, isn't it?

Matkul ini kayaknya jadi salah satu matkul paling berkesan bagiku selain Mettes. Bagaimana tidak? Pengalaman kuliah luringnya sendiri sudah jadi momen-momen yang seru, dengan metode pengajaran yang terasa unik dengan banyak kesempatan istirahat sehingga bisa lebih bisa mempertahankan fokus, lecturing yang full bahasa Inggris, penyampaian yang sangat menarik, dan bahasan yang sangat relatable dan juga mindblowing (yang hampir semuanya meng-highlight romantic relationship :)). Mungkin yang terasa agak challenging itu ketika melaksanakan tugasnya setiap selesai kelas, tapi kelompokku sendiri waktu itu juga benar-benar seru sehingga I don't really have something to be complained of.

Output akhir dari rangkaian pertemuan luring pada matkul ini adalah pameran poster. Ini juga jadi momen yang cukup seru, pengalaman baru deh pokoknya—meskipun belakangan dua matkul lain juga mengadakan pameran serupa untuk UAS-nya.

Seru deh pokoknya 

Nah, dua matkul Jumat lainnya, Psikologi Religiusitas Islam dan Aplikasi Psikologi Perkembangan, punya kesan yang beda lagi. PRI bisa dibilang salah satu matkul paling santai secara materi dan tugas, selain PSPD dan Parenting, banyak memberikan insight-insight menarik juga tentang aspek psikologis yang ditinjau berdasarkan Al-Qur'an.

Kalau APP, nah .... Hehe. Mungkin ini bisa dibilang matkul yang paling menguras versiku semester ini, selain Psikometri. Tidak sedramatis Psikolinguistik meskipun output akhirnya sebenarnya 11-12, tapi challenge-nya lumayan juga. Overall untuk matkul ini, I'm glad it's over, though.

O ya, mungkin yang jadi agak spesial dari matkul ini adalah karena waktu UAS-nya sebenarnya aku sedang demam, tapi aku tetap ikut karena boneka yang jadi prototipe produk kami ada di aku, dan juga karena agak enggak enak juga kalau matkul yang proses pelaksanaannya sangat naik-turun ini justru aku malah enggak ikut UAS-nya. So yes, aku hadir, meskipun memang ada momen nge-drop-nya dulu, tapi lumayan jadi penutup yang manis untuk matkul APP. ^^

Bersama puppet maskot kelompok kami! :D

Matkul pilihan terakhir yang kuambil semester ini tuh Pain Perception and Treatment, alias matkul yang paling sedikit jadi diambil mahasiswa dari angkatanku. Sebenarnya harus kuakui, matkul ini memang terlalu banyak "unik"-nya, bahkan waktu pelaksanaannya saja sudah unik—di rentang masa semester 6. Matkul ini berkolaborasi dengan salah satu universitas di Belanda, jadi aku tahu pasti pelaksanaannya pasti "tidak biasa". Tapi karena ini baru akan mulai di tahun depan, well, we'll see! :)

Last but not least, KKN. Sebenarnya ini juga belum dimulai, tapi sudah ada beberapa persiapan yang sudah dijalankan sejak beberapa waktu lalu. Ah ya, pemilihan topik KKN ini juga jadi drama kedua yang berhubungan dengan war semester ini, tapi tidak seintens KRS meskipun tetap cukup menegangkan. Aku sempat sangat senewen memilih topik karena momennya juga lumayan perlu waktu cepat untuk memilih, sampai akhirnya aku menentukan sejumlah urutan prioritas. Yap, urusan lokasi, topik, dan DPL yang didiskusikan dengan orang tuaku jadi kombinasi pertimbangan pilihanku waktu itu.

Singkatnya, setelah proses pengisian, ternyata aku diterima di pilihan keempat. Dan aku anak psikologi sendiri, dengan teman sekelompok yang tak ada satu pun yang pernah kukenal. Awalnya aku biasa saja karena katanya kuota mahasiswa prodi psikologi di tiap topik itu hanya satu, sampai tahu bahwa ternyata teman-temanku ada yang berdua, bahkan sampai berempat di satu topik. Sempat ada syok dikit sebenarnya soal ini, tapi in the end yaa jalani saja :D

Satu hal yang kusyukuri banget sejauh ini, we got a really kind lecturer. Sejauh ini memang belum terbayang nantinya akan seperti apa, tapi yang jelas akademik 2023-ku sepertinya akan diawali dengan ini, jadi sama dengan Pain Perception, we'll see! ^^

=======

Overall, di semester 5 kemarin, aku jadi sadar, kata-kata kakak tingkat tentang semester 5 itu masih tetap ada benarnya meski dalam kurikulum baru. Meski tantangannya berbeda, tapi ada satu hal yang sepertinya sama. Kelelahan, kejenuhan, dan bahkan mungkin rasa muak terhadap rutinitas ini mulai mewarnai hari-hari kami.

Memang, bebannya tidak seperti semester 3 dan 4 yang sangat menuntut kami untuk mengerjakan begitu banyak hal yang kompleks. Bagiku bahkan semester 5 ini secara umum tugas akhirnya itu-itu saja, meskipun bisa dibilang hampir semuanya proyek, bukan ujian tertulis. Tapi justru karena itulah lelahnya jadi seolah berlipat ganda.

I guess ... that's the thing about being a third-year college student in the end. Not necessarily about what we face, but it's about what we've been through before, and how it impacts our mental states later on.

Terlepas dari itu, dengan menyelesaikan semester 5, artinya aku dan teman-teman seangkatanku sudah menyelesaikan paruh pertama dari tahun ketiga kami di perkuliahan. Well ... time really flies. :")

Secara umum, matkul-matkul utama berarti sudah usai juga kulewati, kecuali beberapa lagi di tiga semester yang akan datang. Di tahun 2023, yang harus kuhadapi sepertinya bukan lagi deadline tugas, lecturing di kelas, dan rutinitas akademik lainnya.

There would be something else yang aku belum tahu apa, tapi jelas sesuatu yang baru, insya Allah. ✨


Minggu, 25 Desember 2022

[Rewinding 2022] Episode #1A: Akhir Tahun Kedua

Sebagai seseorang yang masih menyandang status mahasiswa, memutar ulang hari-hari pada satu tahun yang sudah (hampir) berlalu tanpa meng-highlight momen-momen perkuliahan sepertinya jadi satu bentuk violation terhadap status mahasiswa itu sendiri.

Ah, iyakah?

Well, tidak juga sih sebenarnya 😂

Dan memang, bukan itu alasanku menjadikan aspek akademik sebagai bagian dari series Rewinding 2022 kali ini. Tetapi karena bagiku, tahun 2022 memang tak lepas dari peranan besar momen-momen yang berhubungan dengan perkuliahan, baik itu di semester 4 maupun semester 5. Segala proses jatuh-bangun, kelelahan, keseruan, kepelikan, dan pembelajaran yang tak terhitung jumlahnya di tahun ini, banyak dipengaruhi oleh kewajiban-kewajiban yang dihadirkan dalam mata kuliah-mata kuliah tertentuatau malah oleh perkuliahan itu sendiri secara keseluruhan.

So, let's start the rewind!

=======

📸 Semester 4

Kalau anak-anak angkatanku ditanya, "mata kuliah apa yang paling jadi highlight di semester 4 kurikulum MBKM Fapsi Unpad", aku hampir 100% yakin jawabannya adalah suara bulat untuk mata kuliah satu ini.

Metodik Tes.

Dan ya, aku akan jadi salah satu orang yang menjawab begitu. Karena mata kuliah satu ini memang seberkesan itu. Terus terang, sebenarnya kesan pertamaku sendiri enggak terlalu baik waktu pertama menyimak kuliah hari pertamanya, hehe.

Ya ... gimana lagi?

Setelah tiga semester menemui matkul-matkul yang tak jauh-jauh dari peran akademisi pada umumnya dengan penelitian, teori, praktikum, dan proyek, kali ini kami dikenalkan dengan aturan fashion, tugas hafalan, dan "prakarya". Wajar kan yaa kalau waktu itu aku jadi mengomel sendiri, "Ini kuliah apa sih" 🙂🙏🏻

Selama berbulan-bulan dari Februari sampai Juni, hampir setiap malam Selasa (dan juga hari Selasanya tentunya) pasti jadi momen riweuh dan rempongnya Psikopad'20 deh. Aku sendiri termasuk yang selalu riweuh pagi-pagi hari Selasa ... karena apa? Tentu saja karena "prakarya"-ku selalu baru kusempatkan untuk dikerjakan di Selasa pagi, yap, padahal kelasnya jam 8. 😇

Kelas mulai, riweuh selanjutnya memasuki klimaks baru tuh. Berurusan dengan menumpuk buku di bawah laptop supaya webcam bisa cukup memperlihatkan wajah dan "hasil prakarya". Belum lagi menempel si "hasil prakarya" di dinding dan melepasnya setiap harus menampilkan kertas baru sehingga area belajarku selalu berantakan dengan kertas-kertas berukuran 60 x 90 cm terbungkus plastik yang tersampir sembarangan di meja dan sofa. 😂

Orang tuaku sampai sudah tidak heran lagi kalau setiap hari Selasa selalu tampak dan terdengar pemandangan yang sama. Pasti matkul satu itu.

Nah, tapi itu baru setting daringnya. Satu hal lain yang bikin matkul ini berkesan adalah karena dialah yang "berjasa" membuat angkatanku akhirnya merasakan kuliah luring, bertemu di kampus, dan menjalani hari-hari yang sudah tertunda satu setengah tahun lebih untuk kami alami. That's why, bagiku matkul ini jadi sangat istimewa.

Aku masih ingat betul tanggal bersejarah itu.

Selasa, 12 April 2022, saat segala rasa penasaran dan antusiasme akan "suasana kuliah yang sebenarnya" itu akhirnya terbayarkan sudah.

Some of orang-orang hebat yang selalu ada di hati ♡


Aaaaa I suddenly miss that moment like ... a lottt. TT

Itu ... bener-bener salah satu hari paling berarti sepanjang tahun 2022 sih, bagiku. I owe Mettes a lot for this, LOL.

Dan ... ya, sejak hari itu, bisa dibilang matkul ini jadi selalu luring, kecuali pada tugas-tugas tertentu. Praktikum dan UAS kami pun diadakan luring, memperkenalkan momen baru yang diwarnai dengan ketegangan, kelelahan, rasa pegal, dan deg-degan selama pelaksanaannya, tetapi (setidaknya bagiku) sangat menyenangkan saat dikenang kembali.

Dosen pembimbing kelasku sempat bilang kurang lebih begini waktu praktikum utama kelompokku selesai, "Nanti pasti kangen deh sama matkul yang ini. Matkul ini tuh yang paling beda dari semua matkul psikologi lainnya."

And I'm 100% agree with her.

Aku tidak begitu tahu bagaimana dengan teman-temanku yang lainnya setelah matkul ini selesai karena memang ada banyak pengalaman yang tidak menyenangkan saat menjalani tugas-tugasnya, aku juga tidak akan memungkiri itu.

Tapi di sisi lain, dosenku benar. Matkul ini, dengan segala hal yang benar-benar berbeda dengan matkul Fapsi lainnya, justru jadi ikon paling unik dan berkesan dari semua matkul lain yang pernah kujalani. Meskipun melelahkan dan aku sendiri pun pernah beberapa kali mengungkapkan kegemasanku dengan tugas-tugasnya, I love it. I really love every process, no matter how much challenges it has given me.

Jadi ya, mungkin anomali, tapi terus terang ini salah satu matkul favoritku of all time, di antara puluhan matkul Fapsi Unpad yang lainnya.

Matkul semester 4 selanjutnya yang jadi mata kuliah kedua kami yang dilaksanakan luring, adalah Psikologi Konseling. Lecturing dan juga praktikumnya sudah sempat kami alami secara langsung di kampus, meski mayoritas kelasnya masih tetap diselenggarakan secara daring juga; hanya beberapa kelas saja yang diadakan luring. Terus terang, bagiku momennya tidak seterkenang Mettes, tapi yang istimewa dari matkul ini bagiku adalah materinya. I really love the materials, kayak ada banyak pemahaman baru tentang bagaimana cara memanusiakan manusia.

Meskipun begitu, matkul ini justru bikin aku enggak mau jadi konselor, apalagi psikolog karena ya, meskipun aku sangat suka materinya, setelah beberapa kali praktikum, rasanya this isn't my kind of field.

Matkul lainnya di semester 4 tidak ada yang diadakan luring, dan tak jauh-jauh dari kegiatan akademik kami biasanya, tapi versi pengaplikasian dan sudah lebih advanced. FGD di Psikologi Komunitas, pembuatan alat ukur di Konstruksi Tes, perancangan intervensi di Dasar-dasar Intervensi, penelitian kuantitatif mini dan review penelitian kualitatif di Metode Kuantitatif dan Kualitatif, penyusunan training di Teknik Memfasilitasi Pembelajaran, dan penelusuran profil lulusan di Pengembangan Karir.

Dinamika kerja kelompok dan kesadaran mengenai arah minat jadi highlight tersendiri di matkul-matkul ini. Ya ... karena bentuknya bisa dibilang sudah lebih terarah semua, aku jadi lebih bisa menemukan mana yang langkah-langkahnya bisa kusenangi walau serumit apa pun, dan mana yang "cukup sekali ini aja aku enggak mau ketemu urusan ini lagi".

Well to be honest, mayoritasnya memang tidak bisa dibilang menyenangkan bagiku, pun juga bukan merupakan hal yang ingin kutekuni sebagai lulusan psikologi nantinya. Tetapi setidaknya dengan segala lika-liku perkuliahan di akhir tahun kedua ini, aku sekarang jadi sadar juga, bahwa setiap pengalamannya telah menghadirkan rekaman eksplorasi bagiku sendiri.

Mata kuliah Pengembangan Karir juga sudah menunjukkan, hal yang bisa kami eksplor sebagai lulusan psikologi itu sangat amat luas, mencakup berbagai bidang dan peran. Melalui semester 4, aku jadi mengenal ragam perasaan dan juga pengalaman yang akhirnya bisa kuseleksi; mana yang memang prosesnya menjawab panggilan hati, dan mana yang justru membuatku ingin ia berlalu sesegera mungkin.

Ah ya, secara nilai, satu hal yang kusyukuri di semester 4 ini adalah akhirnya nilaiku bisa dibilang lebih stabil dibanding rollercoaster semester-semester sebelumnya. 😂

But that doesn't really matter in the end, sebab pengalaman, pembelajaran, dan dinamika yang terjadi di sana meninggalkan kesan yang jauh lebih dalam, tak tergantikan oleh apa pun.

So  ... untuk segala hal yang ada dan terlibat di dalam semester 4-ku ini, thank you, I'm more than grateful for everything. 


Selasa, 29 Maret 2022

Write #2 | Dealing with "What if ..." Questions #OfflineCollegeEdition

When I tried to foresee the upcoming 14 days, it was like ... "This should have happened one and a half years ago, shouldn't it?" And then those thoughts came up.

Would it be different if it happened earlier? And ... actually, haven't I wished for this for such a long time? But why do I feel so uncertain about it, and somehow ... scared?

I wouldn't deny that I've always wanted to experience offline college. But when the time is finally coming up, why do these worries start to fill up my head every night?

Seperti sebuah tempat yang dari jauh tampak begitu berkilau, menjanjikan banyak bahagia tanpa kata, menjadi arah tuju yang tampaknya sebagian besar orang pun setuju. Namun, begitu jarak sudah hanya tinggal menghitung hari, kenapa rasanya yang diinginkan hanya untuk berbalik dan melarikan diri?

-----------------------------------------------------

Hari ini, empat belas hari menuju hari pertama kuliah luring bagi angkatanku. Kuliah tatap muka perdana yang tertunda satu setengah tahun. Ya, rentang waktu yang tidak sebentar, jauh lebih dari cukup untuk beradaptasi dengan segala dinamika kuliah, dosen, teman-teman, dan segala kegiatan lainnya. Belum lagi, status sebagai mahasiswa tahun kedua berarti kami sudah tidak lagi menyandang gelar "mahasiswa baru". Seharusnya, ya, seharusnya, mungkin "drama"-nya tidak akan seperti situasi yang sama di kuliah tahun pertama.

Tetapi ya, di hidup ini, yang namanya "seharusnya" itu memang tidak selalu mewujud dalam realitas, kan?

Kalau tidak ingat bahwa kata-kata itu adalah doa, mungkin beberapa paragraf berikutnya akan berisi "'What if ...' questions" bertemakan berbagai kekhawatiran, ketakutan, dan kegalauan yang sempat melintas di kepalaku akhir-akhir ini tentang kuliah luring.

"Tapi memang sebenarnya apa masalahnya, Ki?"

Sebenarnya, kalau aku mau menyempatkan untuk merenungkan jawaban dari pertanyaan itu, aku tahu, ada banyak hal yang bisa kusebutkan.

Satu hal yang sudah sangat jelas: rutinitas. Seterbiasa apa pun dengan dinamika kehidupan perkuliahan, daring dan luring punya perbedaan yang tidak sesederhana perbedaan "d" dengan "l" atau "a" dengan "u". Jarak fisik sudah jelas, tetapi bahkan satu hal itu saja pun tidak sesederhana kedengarannya.

Dalam interaksi langsung, ada persoalan tentang jarak, tatapan dan kontak mata, sentuhan, aroma, model dan warna pakaian. Ditambah intonasi dan artikulasi suara yang jadi begitu penting ketika tulisan tak lagi jadi opsi untuk berkomunikasi. Belum menghitung kebersihan dan kerapian yang tak begitu kentara di balik layar, tetapi jadi krusial ketika berhadapan secara langsung.

Perlu adaptasi yang tidak mudah untuk menyesuaikan diri dan menempatkan kepedulian terhadap pemikiran orang lain pada porsi yang tepat. Ya, apalagi bagi yang punya kecenderungan perfeksionis, seperti aku misalnya.

Ada satu yang lupa kusebutkan tadi. Perasaan. Saat berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan peran atau posisi tertentu baik secara hierarki jabatan maupun persepsi pribadi hati, sering kali ada perasaan yang terlibat di sana. Aku bakal geli sendiri kalau menyebutkan satu-satu bentuk komplikasi reaksinya, tapi yah, kamu pasti tahu lah ya. 😇

Oke, apa lagi?

Sepertinya masih banyak, tapi berhubung kalau membicarakan kompleksitas interaksi langsung itu sebenarnya bisa jadi satu tulisan sendiri, let's move on.

Kembali lagi soal rutinitas. Tadi baru tentang jarak fisik. Bagaimana dengan rutinitas harian? Jam tidur dan jam bangun pagi–itu pernah disinggung juga oleh teman kuliahku waktu kelas–, durasi mandi, berdandan, sarapan, dan makan siang, belum lagi mempersiapkan barang bawaan–lengkap dengan pikiran berulang seperti radio rusak di kepala: "Ada yang ketinggalan enggak ya?" "Udah semua belum ya?" "Ada yang kelupaan enggak ya?"

Terdengar familier?

Tepat, throwback kerusuhan di pagi hari saat siap-siap berangkat sekolah, HAHAHA.

Masih banyak lagi sebenarnya, tapi aku mau menyimpulkan keseluruhannya saja.

Pada akhirnya, aku tahu, "seharusnya" yang kusebutkan di awal itu memang tidak akan jadi semudah itu. Terlalu banyak perubahan, perbedaan, dan kesenjangan antara kegiatan daring dengan luring. Itu baru dari perspektifku sebagai mahasiswa tim pulang-pergi kampus-rumah. Bagi mahasiswa perantauan yang harus ngekos, seperti sebagian besar temanku, tantangannya lebih kompleks lagi, meliputi kehidupan sehari-hari yang harus serbamandiri.

Apakah dengan tahu semua ini, semuanya akan jadi lebih mudah untuk dihadapi? Terus terang, aku tidak tahu.

Tapi yang aku tahu, dari hari ini, sampai hari itu, masih ada waktu yang bisa dimanfaatkan. Mempersiapkan banyak hal, termasuk mental.

Omong-omong soal persiapan, sebenarnya bagiku pribadi, ada beberapa hal lain yang juga menjadi pertimbangan tersendiri untuk menghadapi hari tersebut. Latar belakangku sebagai mantan homeschooler dua belas tahun yang sempat mengira masa-masanya sebagai anak rumahan akan usai, tetapi ternyata ada tambahan bonus kejutan homecollege selama satu setengah tahun, jelas akan sangat berpengaruh.

Tapi ya, semuanya perlu proses. Hari ini, aku belum bisa bilang aku 100% siap, tetapi nantilah, kita lihat hari-hari ke depan.

Nevertheless, I'm still grateful that it seems like we're still granted the chance to experience "real college" before we get to leave it, though. All praises to Allah. 🍃

Sabtu, 05 Februari 2022

Write #1 | World of the Words

I love writing not only because it has always helped me survive each day, but because by writing, I can explore the world of words, the world where I can always look for more and more interesting treasures. Twenty-six letters with more than thousands of combinations can create more than thousands of words to form an untold number of sentences.