Sabtu, 05 Februari 2022

Write #1 | World of the Words

I love writing not only because it has always helped me survive each day, but because by writing, I can explore the world of words, the world where I can always look for more and more interesting treasures. Twenty-six letters with more than thousands of combinations can create more than thousands of words to form an untold number of sentences.

Entah persisnya sejak kapan, menulis hampir selalu dengan yakin kusebutkan saat seseorang menanyakan hobiku. Entah sejak kapan pula, aku memilih menulis lebih daripada membaca yang selama bertahun-tahun jadi kata yang hampir selalu pertama kutuliskan di kolom hobi. Banyak alasan kalau harus kujelaskan kenapa, yang sepertinya sudah banyak kuuraikan pula dalam berbagai kesempatan.

Tapi ada satu hal yang sepanjang ingatanku belum pernah terucap pada siapa pun tentang kesukaanku terhadap menulis. Yaitu....

I. Really. Love. Words.

Iya, aku sangat menyukai kata. Sulit menggambarkan kecintaanku terhadap kata-kata, tapi aku memang secinta itu dengan alfabet dan sekian banyak kombinasi yang bisa diperoleh darinya.

Aku sejak dulu selalu suka bahasa meskipun nilai akademikku tidak terlalu gemilang juga di bidang itu. Dulu aku tidak terlalu sadar mengapa. Tapi aku baru sadar hubungannya. Ya. Di dalam bahasa selalu ada tulisan. Jelas, dengan begitu selalu ada kata-kata yang merangkai semua itu.

Sebenarnya ... mungkin kegigihanku belajar bahasa maupun menulis belum sepenuhnya merepresentasikan kecintaanku pada kata, tapi aku tahu dan percaya perasaan itu sedalam dan sekuat apa. Aku selalu menyukai kata sejak kecil, yang terlampiaskan dengan kesenanganku mencatat, membuat listing, menuliskan nama, mendata buku, menulis hal-hal yang sebenarnya random, baik dengan ketikan maupun tulisan tangan, hanya karena aku sangat menyukai rangkaian huruf itu dan ingin melakukan apa pun yang bisa membuatku berinteraksi dengannya.

Makin ke sini, saat melihat kertas kosong, alih-alih ingin memenuhinya dengan gambar, aku malah ingin memenuhinya dengan 'menggambar' huruf. Kata. Kutipan. Yaa meskipun lebih sering terhalangi oleh keminderanku pada tulisan tanganku sendiri, HAHAHA.

Words are my source of happiness, enthusiasm, and spirit somehow. Permainan kata yang seringnya tidak terlalu diminati oleh teman-temanku justru jadi permainan yang kuharap selalu ada dan selalu kusambut dengan antusias di setiap kelas bahasaku dulu. Bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, bagiku sama saja.‘Cause what I love is words, not specifically the language, and that’s it.

Dulu menulis rangkaian kata yang lebih ‘serius’, tuangan isi pikiran dan perasaan bukan jadi concern utamaku. Pertama karena mungkin dulu aku tidak setertarik itu dengan menulis memoar, kedua ya mungkin karena aku belum terbiasa. Entah sejak kapan persisnya aku mulai menyukainya dan akhirnya bisa mendeklarasikan menulis sebagai sesuatu yang kusukai.

Mungkin sejak SMA sih mulainya, dan makin terpupuk serta tumbuh sejak kuliah. Aku selalu menyukai diksi yang cantik, dan tak jarang untuk berani terus terang secara spesifik mengapresiasi kalau ada diksi yang memang menurutku sangat indah. Di situ mungkin keinginanku untuk bisa memiliki diksi yang secantik itu mulai hadir.

Tidak mudah karena aku tidak terlalu mendalami puisi yang kaya akan diksi dan kosa kata 'estetik', baik membaca maupun menuliskannya. Jadi aku merangkainya dalam bentuk lain. Memoar dan opini. Sebisa mungkin membuat rangkaian kata yang apik, jelas, dan bisa ngena juga ke hati pembacanya.

Tidak selalu berhasil sih sepertinya. Fakta bahwa aku juga tipikal penulis yang sulit menulis pendek dan lebih suka mengobral detail panjang-lebar alih-alih membuat tulisan singkat-padat-jelas-bermakna juga sempat membuatku benci dengan gaya bahasaku sendiri.

Tapi makin ke sini, aku mencoba untuk mempraktikkan kata-kata Bunda Ary Nilandari soal “show, don’t tell” dalam menulis fiksi. Ya, meskipun akhirnya tereliminasi karena fokus menulisku terbelah oleh hectic-nya kuliah semester 1, keikutsertaanku pada RAWS Community batch 2 pada 2020 lalu juga banyak memberikan pengalaman dan ilmu berharga dalam dunia kepenulisan.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan bagiku untuk lebih menantang diri sendiri mempraktikkan tulisan tanpa terlalu mengobral detail, memotivasiku untuk mempertajam kemampuan membuat kalimat implisit.

Setelah keluar dari RAWS dan tidak melanjutkan naskah-naskahku lagi, motivasi itu memang jadi tidak sekuat dulu lagi. Masih perlu proses yang tidak sebentar bagiku untuk membiasakan diri menulis yang ‘tidak bertele-tele’, tapi tetap bisa memberikan kesan kuat yang bisa dirasakan oleh pembaca.

Tulisanku cenderung berjenis memoar, kalau bukan opini. Memang, aku masih sering minder juga kalau lihat diksi para penulis memoar, blog, atau tulisan sejenis lainnya yang kayak udah cantik banget--yang turut memengaruhi gaya tulisanku juga. Rasanya aku masih jauh banget dari mereka.

Tapi yaa, aku harus percaya sama proses kan? Mereka bisa punya diksi sebagus itu pasti karena mereka memang sering praktik menulis. Jadi kalau aku mau meningkatkan skill menulisku, aku harus lebih banyak praktik juga.

Enggak mesti tulisan deep panjang lebar, pendek juga enggak apa-apa, toh tetap tulisan kan? Siapa pula yang pernah bilang kalau suatu tulisan harus terdiri dari setidaknya 5-10 paragraf baru bisa layak publikasi?

Kuncinya tak lain dan tak bukan: konsisten, fokus, dan berkomitmen untuk memang mau jadi lebih baik. Klise, tapi enggak semua yang klise itu berarti sudah enggak berlaku lagi, kan?

Terakhir, satu hal spesifik lain yang juga ingin kutingkatkan. Diksi. Aku baru sadar belakangan ini ketika membaca cerita yang kosa katanya sangat kaya dan juga cantik (para pembacanya bilang begini untuk memuji gaya bahasa si penulis, dan aku setuju, cukup representatif untuk menggambarkan keindahannya), bahwa selama bertahun-tahun menulis, aku masih belum terlalu menggunakan kosa kata yang kukenal dari bacaan-bacaanku di tulisanku sendiri.

Jadi yaa ini juga jadi PR selanjutnya. Enggak perlu mencari pilihan kata yang terlalu asing atau ‘estetik’ tapi jarang diketahui orang. Masih banyak kosa kata dan berbagai sinonim yang masih bisa dikenali orang dan bisa kugunakan juga. Kuncinya sekarang adalah aku harus latihan berpikir lebih out of the box waktu menulis, jangan cuma terpaku dengan pilihan kata yang itu-itu saja.

Bahasa Indonesia itu sangat kaya, sayang kalau tidak dimanfaatkan. 😉