Kamis, 31 Desember 2020

My Words for 2020 and All Within It

Dear (enter your name).

At the end of the 2020, I just want to say that you've finally passed all this 366 days perfectly! You've gone through so much but you can endure and you can still be yourself, thank God for that 💙 After all, whatever that might have happened in 2020, I wish those would help you to survive 2021 and stay strong. You've been that strong since you've survived 2020, I hope you'll do the same way with God's help, and that you'll be so much better than before. I wish you a happy, productive, and amazing whole year in 2021. Take care, stay safe, stay strong, stay happy, and stay proud of being yourself, okay? May God helps you on your way. 💙🍀


***


Kalau disuruh menggambarkan tahun 2020 secara keseluruhan ... terus terang aku enggak tahu harus bilang gimana.

Apakah aku harus jawab bahwa tahun ini penuh kesedihan, dengan pandemi yang berlangsung selama 10/12 bulan? Atau apakah aku harus bilang kalau tahun ini sungguh menyenangkan dengan fakta bahwa salah satu impianku akhirnya terwujud setelah lewat pertengahan tahun? Atau ... apakah aku bisa bilang bahwa tahun 2020 adalah tahun yang menyakitkan dengan semua yang terjadi?

Lalu kalau ditanya, satu kata untuk 2020, apa jawabanku? Tadi, pada salah satu pertanyaan itu, aku menjawab bahwa tahun ini "mengesankan". Tapi ... sebenarnya aku ingin memberikan jawaban yang lebih baik. Hanya saja, aku belum bisa menemukan kata yang tepat yang cukup menggambarkan 366 hari terakhir ini.

Aku juga tidak akan jawab satu pun dari tiga jawaban yang menggambarkan tahun 2020 itu. Tahun ini ... bagiku terlalu istimewa dengan segala warna yang ada di dalamnya. Ada begitu banyak hal yang terjadi, yang sebagiannya sudah kurangkum dalam dua post sebelumnya.

Tidak sedikit orang yang kehilangan banyak hal di tahun ini. Tak terkecuali aku. Alhamdulillah, aku, keluargaku, dan teman-temanku beserta keluarganya masih diberikan kesehatan dan semoga seterusnya begitu. Aku tidak kehilangan dari sisi itu. Aku kehilangan hal lain.

Kesempatan. Peluang. Waktu. Bahkan ada waktu di mana aku merasa kehilangan diriku sendiri. Saat aku merasa asing dengan diriku sendiri.

Itu saat-saat yang tidak mudah. Harus kuakui, di tahun ini, mungkin lebih tepatnya di semester kedua ini, I shed tears more than I ever did before. Entah berapa kali dalam empat bulan terakhir. Tidak sedikit kegagalan, kesedihan, kekecewaan, dan kegalauan yang harus kurasakan sejak euforia saat impianku terwujud. Membuatku kini bertanya sendiri dalam hati, apakah ternyata euforia itu harus kutebus dengan air mata dan luka sebanyak ini setelahnya?

Aku tidak tahu.

Tapi yang aku tahu, aku tidak mau menyesalinya. Terlalu banyak penyesalan yang telah kuhadapi beberapa waktu terakhir. Penyesalan yang berawal atau berujung pada kemarahanku terhadap diriku sendiri. Kadang aku tidak benar-benar menghadapi kegagalan yang harfiah. Tapi kadang aku merasa gagal. Tidak hanya sekali. Entah berapa kali.

Tahun ini, ada begitu banyak hal baru bagiku, terutama sejak Agustus lalu, sejak aku resmi memasuki dunia perkuliahan. Rasanya seperti memasuki sebuah kapal. Di tengah euforia diterima sebagai 'kelasi' baru, aku naik ke atas kapal itu, terpesona melihat-lihat seisinya, menatap dunia dari atas geladaknya, menikmati suasana yang tidak kurasakan di atas tanah. Lalu tanpa kusadari, di tengah euforia tersebut, kapal itu menaikkan jangkarnya saat aku masih berada di atasnya. Berlayar mengarungi lautan luas menuju tujuan berikutnya.

Sebentar. Aku menatap daratan yang makin tampak jauh. Masa laluku makin tampak berkabut dan akhirnya lenyap dari pandangan. Detik itu, aku segera menyadari bahwa aku belum menyiapkan apa pun. Aku naik ke atas kapal ini, tapi aku lupa untuk mempersiapkan diri. Perbekalan apa yang sudah kubawa? Ke mana kapal ini akan berlayar? Apa yang harus kulakukan di sini?

Naik ke atas kapal adalah pilihan dan keinginanku sejak awal. Aku tidak menyesal dan aku tidak panik. Aku tahu bahwa aku harus segera beradaptasi. Tapi, di luar rencanaku, aku nyaris tidak membawa apa pun yang bisa kujadikan modal untuk bertahan selama pelayaran. Aku harus menyiapkannya sendiri saat kapal telah telanjur melaju.

Seperti itulah saat aku menginjakkan kaki ke dunia ini, menyandang status mahasiswa baru, sebelumnya aku tidak ingat sama sekali untuk mempersiapkan apa pun. Aku telah telanjur pasrah untuk tidak diterima di kapal ini atau harus menaiki kapal lain ke tujuan lain. Aku sama sekali tidak berpikiran bahwa aku akan diterima di sini.

Namun, Allah ternyata mengizinkanku untuk naik ke atas kapal impianku. Aku senang, sangat. Tapi ... dulu aku mempersiapkan diri untuk kapal lain atau tidak naik sama sekali. Di sini, aku harus bagaimana?

Aku nyaris sama sekali belum pernah berlayar di atas kapal dunia akademik formal. Tugas-tugas yang susul-menyusul, kesibukan yang menyita waktu, kehidupan dan interaksi sosial yang terasa berbeda dibanding sebelumnya, semuanya terasa baru bagiku. Nyaris sempurna dua belas tahun (empat belas, jika TK dihitung) aku menempuh pendidikan nonformal di darat sebagai homeschooler. Naik ke atas kapal pendidikan formal, mengarungi lautan dengan segala prospek hambatan yang mungkin menghadang, belum sempat tergoreskan sempurna dalam kamus pengalamanku.

Meskipun begitu ... I can't be more grateful for it.

Teman-teman sesama mahasiswa baru (kelasi baru), kakak-kakak tingkat (kelasi senior), dan dosen-dosen (kapten kapal dan mereka dengan jabatan tinggi), semuanya sangat welcome dan memperlakukan kami dengan sangat ramah. Aku tahu, aku mungkin tidak akan bisa bertahan sejauh ini tanpa kebaikan mereka.

Mereka yang mengajariku banyak hal, secara langsung maupun tidak. Di paruh pertama tahun 2020, tidak banyak yang berubah selain fakta bahwa aku berusaha terus menguatkan tekad dan usaha untuk bisa lulus SBMPTN. Sesudah lulus, semuanya berubah.

Selama di kapal, seluruh penghuni dan suasana yang kualami telah mengubah banyak persepsiku terhadap banyak hal. Terutama terhadap pertemanan dan kehidupan sosial. Hal-hal sederhana yang selama ini kupandang dengan cara yang 'salah'. Contoh kecil saja, terus terang, dulu aku termasuk tipe orang yang baperan. Haha. Kalau ada yang bersikap terlalu baik padaku, khususnya cowok, aku bisa langsung mengaktifkan radar dan waspada menganalisis setiap perkataan dan tindakannya. Aku selalu yakin tidak mungkin dia bersikap baik tanpa alasan. 😂🙈

Setelah satu semester di Fapsi, anggapanku itu berubah. Lambat laun, aku akhirnya bisa menyimpulkan bahwa tidak selalu kebaikan seseorang itu bisa diartikan memiliki makna lain. They are being kind because they are kind. Dan aku akhirnya mulai terbiasa juga, tenang saja berkomunikasi dengan siapa pun yang baik itu (dan karena budaya 'kebaikan' di Fapsi, aku justru malah mudah mengidentifikasi mana yang intensitas baiknya tidak 'seroyal' yang lain, haha).

Itu cuma satu dari sekian banyak contoh lainnya.

Selain itu, aku juga baru menyadari bahwa dunia perkuliahan telah sedikit demi sedikit membantuku mendobrak ketakutanku dalam berinteraksi dengan orang lain. Ya, aku masih sering ragu dan takut, tapi terasa banget bedanya dibanding dulu.

Sebelum perkuliahan dimulai, saat aku tahu bahwa perkuliahannya daring, aku sungguh ragu aku akan berani menanyakan atau berpendapat di kelas. Tapi nyatanya ... kesempatan bertanya dan berpendapat justru menjadi sesuatu yang kuincar dalam setiap pertemuan. Jika aku diam, berarti aku sedang tidak memiliki pertanyaan atau pendapat (atau kadang ragu dengan pendapatku). 😂 Dan selalu menyenangkan saat mengaktifkan mikrofon dan berbicara itu. Sesuatu yang aneh jika membandingkannya dengan diriku yang dulu.

Kesempatan wawancara saat mengikuti open recruitment kepanitiaan, meskipun hanya sekali dan aku gagal, itu juga mengajariku banyak hal. Ada banyak kegagalan 'kecil' yang kualami selama di perkuliahan, tapi semua itu mau tak mau membuatku berpikir ulang tentang kemampuanku sendiri. Minder dan down tidak jarang terjadi, tapi aku sadar bahwa aku memang perlu lebih banyak belajar.

Angkatanku bertaburan orang-orang hebat dan berbakat. Tidak jarang insecure melanda, itu harus kuakui. But overall, mereka juga yang membuatku menyadari bahwa setiap orang punya keahliannya masing-masing. Dulu, aku cenderung skeptis terhadap kerja kelompok atau sejenisnya karena aku khawatir apa yang teman sekelompokku lakukan akan tidak sesuai dengan standarku.

Saat kuliah, tugas dan kerja kelompok itu sudah jadi rutinitas bahkan sejak awal karena ospek fakultas mengharuskan kami berkelompok-kelompok. Beda kelompok, beda personel, beda lagi cara kerjanya. Mau tak mau aku harus beradaptasi dengan semua itu. Dan lambat laun, hei, mereka bahkan bisa mengerjakannya dengan sangat baik, yang bahkan tidak bisa kulakukan. Sedikit demi sedikit, kepercayaanku terhadap anggota kelompok pun meningkat dan aku makin tidak keberatan untuk membiarkan mereka mengerjakan bagiannya (khususnya jika aku ketua kelompok).

All of these had taught me a lot and I'm really grateful for it.

Secara keseluruhan ... 2020 memang seperti roller-coaster dalam hal kejadian, pengalaman, dan perasaan. Berada di atasnya berarti harus siap dengan segala yang terjadi; belokan, tanjakan, atau turunan setajam apa pun. Tak jarang ketajaman lekukan jalur roller-coaster itu membuat kita tak bisa menahan jeritan. Dan itu tak apa. Tidak ada salahnya untuk menjerit saat situasi terasa begitu penuh ketidakpastian dan yang pasti hanyalah kebingungan.

Aku sadar, aku banyak berubah dibanding akhir tahun lalu. Kalau kutanya teman-teman lamaku, aku tahu mereka akan mengatakan hal yang sama. Ini overconfidence tapi somehow kemungkinan besar memang itulah yang akan terjadi, setidaknya pada sebagian orang.

Entahlah, apakah perubahan itu semuanya ke arah yang baik atau malah terjadi degradasi dalam kemampuan atau values yang kumiliki. Satu hal yang bisa kupastikan, semua yang telah terjadi pada tahun 2020 ini menjadi tamparan, peringatan, dan penguat bagiku untuk menghadapi 2021. Ketidakpastian yang sama akan kuhadapi dengan situasi yang ada sekarang. Ada banyak hal baru dan entah apa saja.

Aku tidak bisa menerawang masa depan, tapi aku bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi dari sekarang. Menggali lagi 'emas-emas' yang telah kutemukan sepanjang 2020, menjadikannya bekal untuk bertahan sepanjang tahun yang akan datang.

Apa pun yang telah berlalu, apa pun suka dan duka itu, apa pun yang telah hilang dan yang kudapatkan, apa pun yang telah menjatuhkan dan membantuku bangkit sepanjang tahun 2020 ... aku harus bersyukur atas semuanya. Aku percaya Tuhanku tahu yang terbaik bagiku, jadi semoga Dia menuntunku ke arah sana, semoga Dia tidak meninggalkanku.

Akhir kata untuk tahun 2020, semoga apa pun yang akan terjadi sepanjang 365 hari di tahun 2021, kita semua bisa menghadapinya, selalu bisa bangkit kembali, selalu bisa berada di jalan yang benar, dan senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Aku tidak berharap 2021 akan menjadi tahun yang lebih baik, bagiku cukup bahwa ia tak menjadi tahun yang lebih menyakitkan.

Terima kasih untuk segalanya, dear 2020. Saat menyongsong tahun 2021 ini, aku harap kita semua panjang umur dan bisa bertemu dengan tahun 2022 ... dan seterusnya. Insya Allah....