Kamis, 31 Desember 2020

My Words for 2020 and All Within It

Dear (enter your name).

At the end of the 2020, I just want to say that you've finally passed all this 366 days perfectly! You've gone through so much but you can endure and you can still be yourself, thank God for that 💙 After all, whatever that might have happened in 2020, I wish those would help you to survive 2021 and stay strong. You've been that strong since you've survived 2020, I hope you'll do the same way with God's help, and that you'll be so much better than before. I wish you a happy, productive, and amazing whole year in 2021. Take care, stay safe, stay strong, stay happy, and stay proud of being yourself, okay? May God helps you on your way. 💙🍀


***


Kalau disuruh menggambarkan tahun 2020 secara keseluruhan ... terus terang aku enggak tahu harus bilang gimana.

Apakah aku harus jawab bahwa tahun ini penuh kesedihan, dengan pandemi yang berlangsung selama 10/12 bulan? Atau apakah aku harus bilang kalau tahun ini sungguh menyenangkan dengan fakta bahwa salah satu impianku akhirnya terwujud setelah lewat pertengahan tahun? Atau ... apakah aku bisa bilang bahwa tahun 2020 adalah tahun yang menyakitkan dengan semua yang terjadi?

Lalu kalau ditanya, satu kata untuk 2020, apa jawabanku? Tadi, pada salah satu pertanyaan itu, aku menjawab bahwa tahun ini "mengesankan". Tapi ... sebenarnya aku ingin memberikan jawaban yang lebih baik. Hanya saja, aku belum bisa menemukan kata yang tepat yang cukup menggambarkan 366 hari terakhir ini.

Aku juga tidak akan jawab satu pun dari tiga jawaban yang menggambarkan tahun 2020 itu. Tahun ini ... bagiku terlalu istimewa dengan segala warna yang ada di dalamnya. Ada begitu banyak hal yang terjadi, yang sebagiannya sudah kurangkum dalam dua post sebelumnya.

Tidak sedikit orang yang kehilangan banyak hal di tahun ini. Tak terkecuali aku. Alhamdulillah, aku, keluargaku, dan teman-temanku beserta keluarganya masih diberikan kesehatan dan semoga seterusnya begitu. Aku tidak kehilangan dari sisi itu. Aku kehilangan hal lain.

Kesempatan. Peluang. Waktu. Bahkan ada waktu di mana aku merasa kehilangan diriku sendiri. Saat aku merasa asing dengan diriku sendiri.

Itu saat-saat yang tidak mudah. Harus kuakui, di tahun ini, mungkin lebih tepatnya di semester kedua ini, I shed tears more than I ever did before. Entah berapa kali dalam empat bulan terakhir. Tidak sedikit kegagalan, kesedihan, kekecewaan, dan kegalauan yang harus kurasakan sejak euforia saat impianku terwujud. Membuatku kini bertanya sendiri dalam hati, apakah ternyata euforia itu harus kutebus dengan air mata dan luka sebanyak ini setelahnya?

Aku tidak tahu.

Tapi yang aku tahu, aku tidak mau menyesalinya. Terlalu banyak penyesalan yang telah kuhadapi beberapa waktu terakhir. Penyesalan yang berawal atau berujung pada kemarahanku terhadap diriku sendiri. Kadang aku tidak benar-benar menghadapi kegagalan yang harfiah. Tapi kadang aku merasa gagal. Tidak hanya sekali. Entah berapa kali.

Tahun ini, ada begitu banyak hal baru bagiku, terutama sejak Agustus lalu, sejak aku resmi memasuki dunia perkuliahan. Rasanya seperti memasuki sebuah kapal. Di tengah euforia diterima sebagai 'kelasi' baru, aku naik ke atas kapal itu, terpesona melihat-lihat seisinya, menatap dunia dari atas geladaknya, menikmati suasana yang tidak kurasakan di atas tanah. Lalu tanpa kusadari, di tengah euforia tersebut, kapal itu menaikkan jangkarnya saat aku masih berada di atasnya. Berlayar mengarungi lautan luas menuju tujuan berikutnya.

Sebentar. Aku menatap daratan yang makin tampak jauh. Masa laluku makin tampak berkabut dan akhirnya lenyap dari pandangan. Detik itu, aku segera menyadari bahwa aku belum menyiapkan apa pun. Aku naik ke atas kapal ini, tapi aku lupa untuk mempersiapkan diri. Perbekalan apa yang sudah kubawa? Ke mana kapal ini akan berlayar? Apa yang harus kulakukan di sini?

Naik ke atas kapal adalah pilihan dan keinginanku sejak awal. Aku tidak menyesal dan aku tidak panik. Aku tahu bahwa aku harus segera beradaptasi. Tapi, di luar rencanaku, aku nyaris tidak membawa apa pun yang bisa kujadikan modal untuk bertahan selama pelayaran. Aku harus menyiapkannya sendiri saat kapal telah telanjur melaju.

Seperti itulah saat aku menginjakkan kaki ke dunia ini, menyandang status mahasiswa baru, sebelumnya aku tidak ingat sama sekali untuk mempersiapkan apa pun. Aku telah telanjur pasrah untuk tidak diterima di kapal ini atau harus menaiki kapal lain ke tujuan lain. Aku sama sekali tidak berpikiran bahwa aku akan diterima di sini.

Namun, Allah ternyata mengizinkanku untuk naik ke atas kapal impianku. Aku senang, sangat. Tapi ... dulu aku mempersiapkan diri untuk kapal lain atau tidak naik sama sekali. Di sini, aku harus bagaimana?

Aku nyaris sama sekali belum pernah berlayar di atas kapal dunia akademik formal. Tugas-tugas yang susul-menyusul, kesibukan yang menyita waktu, kehidupan dan interaksi sosial yang terasa berbeda dibanding sebelumnya, semuanya terasa baru bagiku. Nyaris sempurna dua belas tahun (empat belas, jika TK dihitung) aku menempuh pendidikan nonformal di darat sebagai homeschooler. Naik ke atas kapal pendidikan formal, mengarungi lautan dengan segala prospek hambatan yang mungkin menghadang, belum sempat tergoreskan sempurna dalam kamus pengalamanku.

Meskipun begitu ... I can't be more grateful for it.

Teman-teman sesama mahasiswa baru (kelasi baru), kakak-kakak tingkat (kelasi senior), dan dosen-dosen (kapten kapal dan mereka dengan jabatan tinggi), semuanya sangat welcome dan memperlakukan kami dengan sangat ramah. Aku tahu, aku mungkin tidak akan bisa bertahan sejauh ini tanpa kebaikan mereka.

Mereka yang mengajariku banyak hal, secara langsung maupun tidak. Di paruh pertama tahun 2020, tidak banyak yang berubah selain fakta bahwa aku berusaha terus menguatkan tekad dan usaha untuk bisa lulus SBMPTN. Sesudah lulus, semuanya berubah.

Selama di kapal, seluruh penghuni dan suasana yang kualami telah mengubah banyak persepsiku terhadap banyak hal. Terutama terhadap pertemanan dan kehidupan sosial. Hal-hal sederhana yang selama ini kupandang dengan cara yang 'salah'. Contoh kecil saja, terus terang, dulu aku termasuk tipe orang yang baperan. Haha. Kalau ada yang bersikap terlalu baik padaku, khususnya cowok, aku bisa langsung mengaktifkan radar dan waspada menganalisis setiap perkataan dan tindakannya. Aku selalu yakin tidak mungkin dia bersikap baik tanpa alasan. 😂🙈

Setelah satu semester di Fapsi, anggapanku itu berubah. Lambat laun, aku akhirnya bisa menyimpulkan bahwa tidak selalu kebaikan seseorang itu bisa diartikan memiliki makna lain. They are being kind because they are kind. Dan aku akhirnya mulai terbiasa juga, tenang saja berkomunikasi dengan siapa pun yang baik itu (dan karena budaya 'kebaikan' di Fapsi, aku justru malah mudah mengidentifikasi mana yang intensitas baiknya tidak 'seroyal' yang lain, haha).

Itu cuma satu dari sekian banyak contoh lainnya.

Selain itu, aku juga baru menyadari bahwa dunia perkuliahan telah sedikit demi sedikit membantuku mendobrak ketakutanku dalam berinteraksi dengan orang lain. Ya, aku masih sering ragu dan takut, tapi terasa banget bedanya dibanding dulu.

Sebelum perkuliahan dimulai, saat aku tahu bahwa perkuliahannya daring, aku sungguh ragu aku akan berani menanyakan atau berpendapat di kelas. Tapi nyatanya ... kesempatan bertanya dan berpendapat justru menjadi sesuatu yang kuincar dalam setiap pertemuan. Jika aku diam, berarti aku sedang tidak memiliki pertanyaan atau pendapat (atau kadang ragu dengan pendapatku). 😂 Dan selalu menyenangkan saat mengaktifkan mikrofon dan berbicara itu. Sesuatu yang aneh jika membandingkannya dengan diriku yang dulu.

Kesempatan wawancara saat mengikuti open recruitment kepanitiaan, meskipun hanya sekali dan aku gagal, itu juga mengajariku banyak hal. Ada banyak kegagalan 'kecil' yang kualami selama di perkuliahan, tapi semua itu mau tak mau membuatku berpikir ulang tentang kemampuanku sendiri. Minder dan down tidak jarang terjadi, tapi aku sadar bahwa aku memang perlu lebih banyak belajar.

Angkatanku bertaburan orang-orang hebat dan berbakat. Tidak jarang insecure melanda, itu harus kuakui. But overall, mereka juga yang membuatku menyadari bahwa setiap orang punya keahliannya masing-masing. Dulu, aku cenderung skeptis terhadap kerja kelompok atau sejenisnya karena aku khawatir apa yang teman sekelompokku lakukan akan tidak sesuai dengan standarku.

Saat kuliah, tugas dan kerja kelompok itu sudah jadi rutinitas bahkan sejak awal karena ospek fakultas mengharuskan kami berkelompok-kelompok. Beda kelompok, beda personel, beda lagi cara kerjanya. Mau tak mau aku harus beradaptasi dengan semua itu. Dan lambat laun, hei, mereka bahkan bisa mengerjakannya dengan sangat baik, yang bahkan tidak bisa kulakukan. Sedikit demi sedikit, kepercayaanku terhadap anggota kelompok pun meningkat dan aku makin tidak keberatan untuk membiarkan mereka mengerjakan bagiannya (khususnya jika aku ketua kelompok).

All of these had taught me a lot and I'm really grateful for it.

Secara keseluruhan ... 2020 memang seperti roller-coaster dalam hal kejadian, pengalaman, dan perasaan. Berada di atasnya berarti harus siap dengan segala yang terjadi; belokan, tanjakan, atau turunan setajam apa pun. Tak jarang ketajaman lekukan jalur roller-coaster itu membuat kita tak bisa menahan jeritan. Dan itu tak apa. Tidak ada salahnya untuk menjerit saat situasi terasa begitu penuh ketidakpastian dan yang pasti hanyalah kebingungan.

Aku sadar, aku banyak berubah dibanding akhir tahun lalu. Kalau kutanya teman-teman lamaku, aku tahu mereka akan mengatakan hal yang sama. Ini overconfidence tapi somehow kemungkinan besar memang itulah yang akan terjadi, setidaknya pada sebagian orang.

Entahlah, apakah perubahan itu semuanya ke arah yang baik atau malah terjadi degradasi dalam kemampuan atau values yang kumiliki. Satu hal yang bisa kupastikan, semua yang telah terjadi pada tahun 2020 ini menjadi tamparan, peringatan, dan penguat bagiku untuk menghadapi 2021. Ketidakpastian yang sama akan kuhadapi dengan situasi yang ada sekarang. Ada banyak hal baru dan entah apa saja.

Aku tidak bisa menerawang masa depan, tapi aku bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi dari sekarang. Menggali lagi 'emas-emas' yang telah kutemukan sepanjang 2020, menjadikannya bekal untuk bertahan sepanjang tahun yang akan datang.

Apa pun yang telah berlalu, apa pun suka dan duka itu, apa pun yang telah hilang dan yang kudapatkan, apa pun yang telah menjatuhkan dan membantuku bangkit sepanjang tahun 2020 ... aku harus bersyukur atas semuanya. Aku percaya Tuhanku tahu yang terbaik bagiku, jadi semoga Dia menuntunku ke arah sana, semoga Dia tidak meninggalkanku.

Akhir kata untuk tahun 2020, semoga apa pun yang akan terjadi sepanjang 365 hari di tahun 2021, kita semua bisa menghadapinya, selalu bisa bangkit kembali, selalu bisa berada di jalan yang benar, dan senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Aku tidak berharap 2021 akan menjadi tahun yang lebih baik, bagiku cukup bahwa ia tak menjadi tahun yang lebih menyakitkan.

Terima kasih untuk segalanya, dear 2020. Saat menyongsong tahun 2021 ini, aku harap kita semua panjang umur dan bisa bertemu dengan tahun 2022 ... dan seterusnya. Insya Allah....

Rewind the Moments of 2020 - Part II

Tidak perlu menunggu tahun berganti. Begitu paruh pertama 2020 berlalu, satu per satu perubahan besar terjadi dalam hidupku. Mengubah arah jalanku. Mengarahkanku ke tempat dan kesempatan yang belum pernah kupikirkan. Ada beban baru yang kubawa. Aku terjatuh berkali-kali, kadang karena bebannya terlalu berat, kadang karena langkah kakiku tidak menginjak tempat yang seharusnya, kadang karena aku tak sanggup bahkan untuk lanjut berjalan. Dengan semua itu ... apakah aku sempat berharap bisa kembali saja ke masa sebelumnya? Tidak. Aku tidak mau. :")

***

Juli

Sebenarnya bisa dibilang hanya satu momen penting di bulan ini, tetapi pengaruhnya sangat besar bagi jalan hidupku bulan-bulan berikutnya. Ya, UTBK. Aku menempuh UTBK pertama dan terakhirku tahun ini pada tanggal 7 Juli, di Unpad. Seperti hasil survei lokasi di bulan sebelumnya, ruang ujianku berada di Departemen Statistika. Aku masih ingat momen itu. Aku kebagian sesi siang dan sedikit keruwetan terjadi di pagi hari karena beberapa hal. Ya ... tapi akhirnya aku pergi juga, diantar papa dan adikku.

Sebelum hari H, berarti sejak tanggal 1 atau 2 Juli, aku sudah berhenti mempelajari materi dan fokus try out. Menggunakan paket yang sudah kubeli sejak waktu sebelumnya, selama enam-tujuh hari berturut-turut aku rutin try out 1x sehari. Angka yang kudapat waktu itu sebenarnya sudah lumayan, tapi aku menolak mengandalkan itu sebagai alasan untuk merasa percaya diri karena ujian sebenarnya sering di luar dugaan.

Protokol pandemi untungnya sudah bukan hal baru ketika itu, tidak mengherankan lagi ketika harus cek suhu (bahkan dua kali ketika aku pergi dulu ke toilet di gedung lain dan ketika kembali harus melewati penjaga lagi), cuci tangan (dua kali juga), duduk dengan jarak aman antarpeserta, dan berbaris masuk dengan jarak aman juga.

Secara keseluruhan hari itu berjalan lancar, hanya saja ada satu yang mengganggu pikiranku ketika meninggalkan ruang ujian ... sampai beberapa waktu berikutnya. Aku salah mengisi satu soal Kemampuan Penalaran Umum karena aku terlambat memahami maksud soalnya dan persis ketika aku hendak memperbaikinya, waktunya habis dan tampilan layar berpindah ke subtes berikutnya. Haha, potek banget waktu itu, takut pengaruhnya besar, aku tidak bisa memaafkan diri sendiri sampai berhari-hari (belakangan memang terbukti nilai PU-ku paling rendah dibanding tiga subtes lainnya). :")

Tapi aku coba leraikan, melupakan dan berusaha menikmati hari-hari berikutnya--kebebasan mutlak pertamaku dari ujian sejak setahun sebelumnya.

Di bulan ini jugalah aku pertama mengunggah karya fiksi hasil risetku untuk RAWS, konsep matang pertamaku yang idenya pun sudah kutulis jauh--jauh hari. Yea, risetku sebenarnya memang belum selesai, tapi Juli itu kami memang sudah boleh mem-posting fiksinya, jadi aku posting ;)

Agustus

Bulan ini ... titik balik semuanya. Paruh pertama bulan Agustus memang tidak banyak yang terjadi selain ketegangan dan hari demi hari dilalui dengan berusaha pasrah dan menyiapkan hati untuk menerima jika aku diterima di pilihan kedua atau harus gap year. Ya, SBMPTN adalah kesempatan satu-satunya yang kuambil untuk mencapai PTN. Tidak lulus = otomatis gap year.

Mulanya, yang ditunggu itu tanggal 20 seperti pengumuman semula. Tapi, lagi-lagi, aku lupa tanggal berapa, LTMPT mendadak mengumumkan bahwa pengumuman tersebut dimajukan enam hari. Jadi Jumat, 14 Agustus. Yap, lagi-lagi aku sempat histeris waktu tahu, senang karena akan segera terbebas dari rasa penasaran tapi langsung enggak karuan juga karena waktu itu sudah kurang dari satu minggu menuju tanggal 14.

Fast forward, singkatnya, setelah melalui malam dengan menuliskan perasaan dan tekadku untuk menghadapi hari esoknya (ini tersimpan di draft, live report perasaanku malam itu) dan pagi hingga siang dengan berusaha biasa saja, sore itu ... mamaku yang pertama membukanya. Dan aku tahu karena mendengar kata-katanya pada papa di ruang tengah, saat aku masih duduk sendiri di atas sajadah di kamar dan menyengajakan diri untuk diam saja di sana alih-alih membuka pengumuman.

Kata-kata yang begitu kudengar ... langsung membuat hatiku mati rasa, pikiranku seolah stuck alih-alih memproses informasi itu untuk kucerna dengan baik. Aku ... lulus? Psikologi?

Meskipun kehebohan yang terjadi sesudah itu akhirnya membuat bendungan air mataku runtuh juga, aku masih menolak percaya sampai beberapa menit setelahnya aku bangkit dan membuka sendiri pengumuman itu dari laptop. Kumasukkan nomor ujian dan tanggal lahirku ... dan layar pun menampilkannya. Tertera jelas banget, dan ... aku nangis lagi. :" Alhamdulillah ya Allah ....

I can't be more grateful.... :")

Setelah lebih tenang, aku mulai melakukan hal yang sama dengan waktu pengumuman SNMPTN itu. Aku sudah membekukan media sosialku dengan aplikasi freezer sejak beberapa jam sebelumnya, jadi aku bisa menyibukkan diri dengan tenang tanpa menghiraukan dulu apa pun yang terjadi di media sosial sana. Kali itu agak lama, bolak-balik aku mencari sampai nyaris putus asa karena daftar nama itu belum muncul juga. Tapi, akhirnya kutemukan juga sesudah beberapa jam berkutat di depan laptop. Ritual itu kuulang lagi. Dari daftar yang sebelumnya sudah kupanjangkan dengan lebih banyak lagi nama, kumasukkan satu per satu dan kucatat jurusannya.

Ada kelegaan saat nama teman baikku tertera di sana, ada rasa kaget dan cemas saat teman baikku yang lainnya tak tertera di sana. Ah ....

Setelah selesai memastikan, barulah aku membuka media sosial dan ... everything started.

Fast forward, intinya malam itu, kalau bukan besoknya, aku mengontak CP untuk grup angkatan 2020 Fakultas Psikologi Unpad setelah mencari di IG BEM-nya. Thanks to one of my friend yang sudah diterima di Keperawatan Unpad lewat SNMPTN, aku diarahkannya untuk membuka IG BEM itu karena terus terang saja aku bingung apa yang harus kulakukan begitu lulus itu dan tidak pernah stalk IG-nya juga, haha. :")

Satu-dua hari setelah aku masuk grup, petualanganku pun dimulai.

Segala kegiatanku seperti terpusat di sana waktu itu, info-info dan tugas ospek pun bermunculan bersamaan dengan kesibukan untuk daftar ulang. Waktu itu untuk pertama kalinya aku harus ke Bandung, first time sejak pandemi, untuk mengambil ijazah. Riweuh ke Puskesmas dan sana-sini untuk mengurus berbagai surat keterangan sampai aku senewen sendiri, tapi akhirnya alhamdulillah semuanya beres dan aku bisa memfokuskan diri pada tugas.

Di sini jugalah aku sempat mengalami masa yang ... bisa dibilang terpahit sepanjang 2020-ku. Tiga hari berturut-turut pula. Waktu itu, untungnya aku sudah sempat bisa berbaur dengan teman-teman baruku, ikut meramaikan grup. Jadi ketika aku merasa begitu hancur waktu itu, di hari pertama, salah satu hal pertama yang terpikirkan olehku adalah bercerita pada mereka. Kebetulan waktu itu grup masih ramai. Agak memalukan sebetulnya karena itu sebenarnya adalah kegagalanku sendiri.

Tapi di sanalah, karena kejadian itu ... aku menyadari, bahwa aku telah menemukan keluarga baru yang teramat baik....

Support dan penghiburan dari mereka di luar dugaanku, dan aku bisa merasa sedikit lebih baik sesudah itu. Begitu pula yang terjadi selama dua hari berikutnya meskipun pahitnya semakin buruk. Tapi, meskipun menyakitkan, masa-masa itu seakan menjadi tamparan keras bagiku untuk beradaptasi lebih baik dengan dunia baru ini.

Setelah ospek universitas, tugas-tugas dan pertemuan ospek fakultas pun mulai berjalan. Hari-hari berlalu dengan berbagai macam hal baru, sampai akhirnya, bulan Agustus itu diakhiri dengan hari pertama kuliah kami. Petualangan akademikku di jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Unpad pun resmi dimulai.

September

Dari bulan-bulan lain dalam semester dua ini, rasanya Septemberlah yang terasa paling lambat berjalan. Masuk akal, sih, sebab di bulan itulah segala hal baru mencapai puncaknya. Segala macam drama ospek, perkuliahan daring, kelas menulis esai, open recruitment kepanitiaan, dan lain-lainnya yang dengan segera menyita setiap waktuku.

Aku sedang ambis-ambisnya waktu itu, haha. Berbekal antusiasme dan rasa penasaran yang sedang tinggi-tingginya, aku mencoba mendaftarkan diri ke salah satu kepanitiaan. Di situlah pertama kali aku berurusan dengan CV dan menghadapi interview ... yang belakangan kusadari sangat kacau. :) Ya, aku tidak lulus seleksi kepanitiaan itu (yang belakangan kusyukuri juga melihat kepadatan dan ke-hectic-annya. :>

Pahit sih, tapi kupikir segala hal memang bertahap.

Di bulan itu juga, aku cepat beradaptasi dan benar-benar bisa merasa menjadi bagian dalam 148 mahasiswa angkatan kami. Grup selalu hidup dengan segala macam kehebohannya, jadi sumber semangat dan senyumku. Zoom dan meet membuat kami bisa saling bertatap muka meski terhalang layar. Tak apa, kami masih tetap bisa tertawa dan saling mengenali wajah satu sama lain. Aku mulai mempraktikkan pula kesenanganku untuk membuat list dengan membantu merekap tugas-tugas kami di notes grup. Agak mengejutkan melihat respons teman-temanku waktu itu ... dan itu, satu momen yang membuatku merasa finally I'm useful at something. :") Membuatku makin sayang pada keluarga (yang tidak kecil)-ku itu.

Menjelang akhir bulan, suatu 'insiden' mengantarkanku pada komunikasi dengan dua orang teman sekelasku di salah satu mata kuliah dan karena kami memiliki misi yang sama, yaitu membuat catatan materi kuliah di Google Docs dan membagikannya pada teman-teman seangkatan, kami pun membuat kelompok kecil untuk segala keperluan misi itu. Tepatnya, aku yang bergabung ke sana karena sebelumnya mereka berdua sudah mulai duluan. Tak berapa lama, satu orang lagi bergabung dan dari sana kami mulai dekat.

Ya, for the first time juga aku seperti memiliki squad yang bersama mereka aku bisa lebih bebas jadi diriku sendiri lebih dibanding dalam grup angkatan. Kegiatan kami akhirnya tak hanya urusan catat-mencatat di Google Docs, kami ternyata punya banyak kesamaan dan tak butuh waktu lama bagi kami untuk akrab. Kayak ngegeng sih, tapi enggak juga, terutama bagiku sendiri karena kami tetap aktif di grup angkatan and do what we can do for them. Yes, itu satu kelompok versi lebih kecil yang juga membuatku sangat bersyukur bisa mengenal dan bersama mereka. :)

Oktober

Kalau tahun-tahun sebelumnya, yang istimewa dari Oktober adalah karena ia merupakan bulan kelahiranku. Kali ini pun tidak jauh berbeda sebetulnya karena secara keseluruhan rutinitasku di bulan itu masih sama seperti bulan September meskipun pace-nya terasa lebih cepat. Yang membedakan mungkin hanya ... waktu itu aku mendaftarkan diri lagi ke salah satu open recruitment volunteer untuk kepanitiaan lain. Dan ... kali itu alhamdulillah aku lolos. Tidak ada proses interview ataupun CV, hanya menggunakan Google Form, jadi waktu itu pressure-nya tidak seberat seleksi sebelumnya bagiku.

Kegiatan kepanitiaan pun mulai berlangsung kalau tidak salah menjelang akhir bulan, dan aku mulai meluangkan waktu di sela tugas ospek fakultas dan ke-riweuh-an kuliah.

Ah ya, aku baru ingat satu hal yang paling berbeda di bulan ini dibanding September.

UTS.

Ya, kami menghadapi UTS pertama di pertengahan bulan Oktober. Drama riweuh dan kepanikan yang berujung SKS melanda kami, ya, aku bisa bilang "kami" karena waktu itu grup sering heboh soal ini, haha. Aku sendiri sempat frustrasi karena tidak bisa menyiapkan diri dengan baik ... tapi alhamdulillah akhirnya berhasil dilalui juga, dengan bonus hari libur karena ada tanggal merah dan hari kejepit di akhir masa UTS itu.

Bonus dari hari-hari UTS waktu itu adalah ... bertambahnya satu orang lagi anggota dalam "kelompok kecil Google Docs" kami. Berawal dari ingin belajar bareng denganku dan akhirnya aku mengajaknya join saja ke kelompok itu agar bisa belajar rame-rame. Begitulah, akhirnya dia bergabung dan jadilah grup itu terdiri dari lima orang yang alhamdulillah masih bertahan dan akur sampai sekarang karena ternyata kami benar-benar bisa nyambung dan saling support satu sama lain.

November

Satu hal yang paling kuingat dari bulan ini (ya, banyak yang sudah kulupakan meski baru lewat sebulan) adalah hectic-nya yang benar-benar makin parah dibanding bulan sebelumnya. Deadline dan hal-hal lainnya yang membuatku senewen.

Pertama, ada event dari kepanitiaan yang kuikuti. Aku menjadi volunteer sebagai liaison officer atau LO untuk event Psyferia, ajang perlombaan debat, esai, poster, dan iklan yang diselenggarakan oleh Unpad dan diikuti oleh puluhan atau mungkin ratusan peserta dari berbagai provinsi di Indonesia. Yap, ajang ini bisa dibilang ajang nasional. :) Peran para volunteer adalah untuk ambil bagian dalam perlombaan debat. Tiga dari teman terdekatku ikut juga meski peran mereka berbeda denganku. Aku sebagai LO, bertugas untuk mendampingi peserta debat dari universitas tertentu dan menjadi perantara antara mereka dengan panitia.

Bagiku yang sebenarnya introvert, momen itu sedikit menegangkan bagiku makanya awalnya aku sempat ragu untuk mendaftar, tapi ternyata semuanya berlangsung cukup lancar. Perlombaan debat berlangsung selama dua hari, tanggal 14-15 November. Waktu itu kami juga melewati beberapa waktu rapat yang dilaksanakan beberapa kali sebelum hari H, plus momen bonding antarpeserta di H-1 dengan kami para LO sebagai fasilitator games-nya. Yea, itu pengalaman baru lagi buatku, menjadi fasilitator dan harus memandu serta berinteraksi langsung tatap muka (lewat Zoom) dengan peserta.

Partnerku waktu itu kakak tingkat yang setahun di atasku, dan alhamdulillah kami waktu itu berhasil memandu games dengan baik dan para pesertanya pun cukup antusias sehingga mempermudah tugas kami.

One thing's for sure, pengalaman di Psyferia, meski lagi-lagi sempat banyak dramanya dan ada sedikit kekecewaan ketika tim yang aku LO-kan terhenti di babak penyisihan, secara keseluruhan menjadi momen berharga yang mengajarkanku banyak hal. Aku sama sekali tidak menyesal mendaftar. :)

Selain Psyferia, di November ini juga ospek fakultasku berakhir setelah menyelesaikan proyek akhir berupa video yang dibuat secara berkelompok. Urusan itu juga sempat bikin senewen karena kelompok kami membuatnya agak mepet, tapi pada akhirnya semuanya selesai tepat waktu dan alhamdulillah juga proses closing berjalan lancar ... dengan banjir air mata sebetulnya. :")

Lalu, ada OMPSI atau Olimpiade Psikologi, event internal yang diselenggarakan sebagai ajang rekreasi dan hiburan di tengah pusingnya kuliah. Sejak awal aku sudah sangat antusias dengan event itu, jadi urusan itu juga sempat menyibukkanku karena aku dengan sukarela banyak koar-koar di grup mempromosikan setiap lomba. Satu memorable moment yang agak bikin aku enggak enak sebetulnya, tapi untunglah semuanya berjalan lancar juga meskipun aku gagal di lomba yang kuikuti. :") Ya ... setidaknya angkatan kami masih memenangkan beberapa gelar juara juga, and I'm so glad for it!

Terakhir, persis di akhir bulan itu, tepatnya malah dalam proses pergantian menuju bulan Desember, aku harus menelan kekecewaan pahit berikutnya. RAWS, komunitas yang bagiku telah sangat berjasa mengangkat banyak traits dan values yang sangat berharga bagiku hingga kini, lepas dariku. Aku yang lepas, tepatnya. Aku tidak berhasil mengejar jumlah minimal bab yang harus dipenuhi untuk lolos tahap eliminasi kedua pada akhir bulan tersebut. I've tried sebenarnya, sejak pertengahan November sudah susah payah mengumpulkan tekad dulu dan kumulai sejak sekitar sepuluh hari sebelum deadline.

Waktu itu ada tujuh bab riset dan empat bab fiksi yang harus kukejar. Aku sudah ngeri sendiri sebetulnya, mengejar sebanyak itu dalam waktu yang sangat sempit. Jangan tanya kenapa aku tidak mulai lebih awal. :")

Dan ... ya, meskipun aku akhirnya berhasil menyelesaikan empat bab fiksinya, riset tidak berhasil kukejar.

Desember

Saat jam 00.00 terpampang di sudut layar laptopku, aku hanya bisa tersenyum miris. Pasrah. I've failed. Sebenarnya hanya tinggal dua-tiga riset lagi yang referensinya sudah kukumpulkan juga, tapi tidak mudah untuk menyarikan semua inti dari referensi itu dan menuliskannya lagi, itu sulit banget malahan. Jadi ya ... aku terpaksa pasrah. Melepaskan ring RAWS yang melingkari profil Wattpadku beberapa hari lalu (karena aku lupa melakukannya saat pertama tereliminasi).

Sedih sebetulnya, karena sebelumnya sudah ada peringatan juga bahwa kalau tereliminasi di batch ini, tidak akan bisa ikut lagi di batch berikutnya. Yah, singkatnya berarti aku harus mengucapkan selamat tinggal pada RAWS.

Grup heboh pagi itu, ketika satu per satu yang tereliminasi mengucapkan selamat tinggal. Termasuk aku. Pahit sih, mengingat bahwa aku sudah berusaha menyemangati teman-teman seperjuanganku di RAWS, tapi aku sendiri ternyata tidak bisa keep up. Itu jadi tamparan keras berikutnya bagiku di tahun ini. Nyesek, tapi ya ... gimana lagi. :")

Aku coba ambil hikmahnya saja, karena ternyata kegiatan di bulan ini padat, kalau melihat media sosial teman-teman di RAWS dulu. Di satu sisi aku malahan jadi bersyukur, belum tentu aku bisa keep up lagi seandainyapun aku lolos tahap eliminasi. Apalagi waktu itu awal Desember, lagi hectic banget UAS dan tugas akhir. Ya ... mungkin ada baiknya aku tersingkir lebih awal. :")

Jadi ... begitulah. Di bulan pengujung ini, sebenarnya ... yang paling bisa di-point out itu momen UAS karena tidak banyak yang 'menarik' selain itu setelah tereliminasi dari RAWS. Ke-hectic-an semasa UTS terulang lagi, sayangnya, khususnya bagiku sendiri masa UAS tidak terlalu memuaskan karena aku masih gagal mempertahankan pace yang bagus untuk mempersiapkan diri secara lebih efektif. Ya, ujung-ujungnya pasrah dan saat ini kami masih menunggu hasilnya. Wish for all the best for all of us, though. :)

Sisa waktu sejak selesai UAS hingga sekarang, tidak banyak yang kulakukan. Aku seperti lepas dari kurungan, benar-benar enjoy to do particularly nothing, haha, agenda yang sempat kurancang masih belum berjalan. Hati-hati, Kia. :")

Meskipun begitu, tak apa, anggap saja waktu istirahat sesudah tahun dengan begitu banyak hal yang terjadi. Memasuki tahun dan bulan baru, kuharap aku bisa memperjuangkan resolusiku yang baru nanti. Insya Allah. :)

Rewind the Moments of 2020 - Part I

Tahun 2020 tengah bersiap pergi, meninggalkan kesan beragam di hati miliaran manusia yang telah tiba di tempat yang berbeda-beda pula saat ini. Begitu 2021 tiba, ia akan segera menjadi bagian dari masa lalu. Mungkin tak akan mudah bagi kita melupakan semua yang telah terjadi dalam 366 hari ini. Termasuk juga bagiku.

Terutama karena ... setelah melalui berbagai badai di pertengahan tahun ini bersama jutaan teman seperjuanganku, gelar "angkatan 2020" akan terus tersemat pada diriku, pada diri kami, tak akan begitu saja terlupakan. Apakah aku menyesal? Tidak. Aku bersyukur. I can't be more grateful to be a part of this year's fighter. This might have been the best way to be what I am today, tomorrow, ... and beyond. And I thank Him for that :)

***

Saat aku mencoba mengenang kembali masa-masa dua belas bulan terakhir, merunut setiap kejadian yang silih berganti tiba dengan kesannya masing-masing, baru kusadari bahwa begitu banyak yang telah kulalui.

Januari

Aku memutuskan untuk mengikuti lagi les bahasa Inggris yang telah kutunda, kalau tidak salah, dua periode. Kembali bertemu dengan guru yang pernah mengajarku sebelumnya, teman-teman dan ruang kelas yang baru. Masa-masa menyenangkan di mana Sabtu selalu menjadi hari yang kutunggu sebagai pelarian dari kewajiban belajar dan try out.

Aku juga sempat mengikuti seminar Bandung DreamIn, semacam seminar yang mengangkat tema self-actualization, diselenggarakan oleh Karisma ITB pada tanggal 19 Januari. Secara keseluruhan muatan seminarnya memang cukup menarik, tapi bukan itu yang menurutku paling berkesan dalam acara itu. Menjelang akhir acara, kami para peserta diberi selembar kertas bergaris berwarna biru yang di paling atas tertulis: "My Dream - will be come true soon!" Ya, kami diminta menuliskan impian kami sesudah mengikuti seminar tersebut.

Di kertas itu, sesudah kubuka kembali sekarang, rupanya aku menuliskan harapanku untuk masuk jurusan Psikologi Unpad di kalimat pertama. Um. Iya, terus terang aku agak kaget juga waktu lihat lagi :)

Abaikan hasil tulisanku karena nulis di kursi tanpa meja :"


Nah, setelah selesai menulis, kami juga diberikan masing-masing sebuah balon yang belum ditiup dan kami harus memasukkan kertas yang sudah ditulis tadi ke dalamnya. Lalu, kami disuruh meniup balon itu ... sampai meletus. Suruhan itu menuai sedikit kehebohan, termasuk aku sendiri yang langsung mengalami kehebohan internal alias panik, haha. Sejumlah peserta yang takut balon tidak mau melakukannya dan akhirnya diizinkan untuk tidak meniup balonnya serta pindah ke barisan paling belakang kecuali beberapa orang yang ingin mencoba melawan rasa takutnya (mereka keren, aku salut). Aku sendiri panik karena alasan yang berbeda, bukan karena takut letusan balon. Aku takut karena seumur-umur hanya hitungan sebelah jari aku pernah bisa meniup balon sampai besar. Ini disuruh sampai meletus?!

Tidak ada teman yang bisa dimintai tolong untuk meniupkan balonnya kali ini. Adikku sudah pulang duluan dan tidak ada teman yang sudah kukenal baik di sana. Aku harus mencoba sendiri (yea, meskipun ada teman juga aku harus meniup sendiri sih, wkwk, enggak ada bedanya :")). Akhinya aku beranikan diri, mengumpulkan seluruh tekad dan mulai meniup begitu aba-aba diserukan. Suara letusan balon mulai terdengar setelah sekitar semenit atau kurang, entahlah. Aku tidak terlalu memedulikan sekitar karena fokus meniup--entah bagaimana juga caranya aku bisa meniup dan langsung bisa dalam first try.

Kau pasti tahu seberapa besar yang harus dicapai oleh balon untuk bisa meletus. Balon yang kutiup itu akhirnya sudah bisa sangat menggelembung, tapi itu sungguh perjuangan berat dan saat sebagian besar peserta termasuk teman di sebelah kiri-kananku sudah berhasil meletuskan balonnya, aku berhenti, kehabisan napas, terengah-engah, benar-benar merasa tidak sanggup lagi melanjutkan. Tapi aku sudah bertekad untuk menyelesaikannya, jadi aku memaksa diri kembali meniup. Teman di dekatku mulai menyemangati, berseru meyakinkanku untuk terus meniup, membuatku merasa tenagaku sedikit kembali. Sampai akhirnya ...

DOR!

Balon itu meletus di tanganku, berserakan, kertas yang tadi ada di dalamnya terlempar. Aku masih terengah, gemetar menenangkan diri sambil mengambil minum sebelum memungut pecahan balon dan kertasku. Hal itu ... mungkin biasa saja bagi orang-orang, apalagi yang sudah pernah meniup balon. Tapi bagiku, dan juga mungkin mereka yang tadinya takut tapi ingin mencoba, itu suatu prestasi yang luar biasa. HAHA konyol memang kedengarannya, tapi memang seberarti itu.

Hari itu, aku merasa seolah meletusnya balon yang berisi impianku itu, dengan perjuangan keras untuk melakukannya, seperti sebuah pertanda bahwa aku akan bisa mencapai impianku. Mungkin memang berat, seperti saat aku berusaha melawan rasa takut dan mengerahkan segala upaya terbaikku, seperti yang dijelaskan oleh pemateri begitu sesi balon itu selesai. Entahlah, aku tidak tahu, tapi saat itu aku benar-benar merasa dikuatkan, aku percaya Allah akan mengabulkan harapanku dan aku akan berjuang untuk itu. One of the best feeling this year :")

Terus terang saja, efek dari kejadian hari itu masih menyertaiku sampai saat ini. Saat aku berhasil diterima tujuh bulan kemudian, di tengah rasa syok dan euforia yang melanda, aku sempat teringat pada momen di hari Minggu itu. Ada haru dan rasa tak percaya bahwa kalimat pertama yang kutuliskan di kertas itu benar-benar terwujud. Balon itu .... Ah. Allah Maha Besar.... :")

Selain momen Bandung DreamIn, di bulan ini jugalah aku mengikuti Open House Unpad untuk pertama kalinya, hari Sabtu tanggal 25 Januari. Terus terang saja itu merupakan pertama kalinya aku pergi ke universitas impianku itu sejak mengincarnya sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Salah satu momen paling menyenangkan tahun ini. Janjian dengan teman-teman bimbelku sejak hari-hari sebelumnya dan kami pun menghabiskan waktu di sana. Setidaknya aku sendiri menghabiskan waktu sampai sore karena teman-temanku pulang duluan sesudah Zuhur. Mestinya aku juga pulang. Tapi kenapa tidak?

Aku ingat sekali, aku nekat bertahan sampai sore meskipun tidak terlihat adanya teman pulang bareng nantinya itu karena ... aku ingin melihat presentasi mengenai Fakultas Psikologi :) Baru kusadari juga bahwa keambisanku juga terjadi waktu itu, selain menghabiskan waktu paling lama di stan fakultas itu saat keliling. Haha.

Yah, begitulah hari itu. Besoknya, kami juga pergi lagi ke Unpad untuk mengikuti try out. Ya, dua hari berturut-turut itu aku ke sana. Kali itu aku juga sempat menghabiskan waktu sendiri lagi karena alasan yang sama, temanku pulang duluan sementara aku ingin ke Rektorat dulu untuk mengambil foto.





Masih masa liburan (aku baru bisa pastikan itu sekarang), jadi lagi sepi-sepinya waktu aku berjalan ke Gerlam dari Rektorat melalui jalur Soshum yang sudah kukenal baik karena waktu ke OH juga lewat situ. Paginya itu aku sempat melewati Fakultas Psikologi untuk pertama kalinya (karena waktu OH gagal) saat berangkat diantar papa, jadi saat pulangnya pun aku sudah berniat untuk ke sana. Sempat ragu karena sepi banget, cuma ada beberapa petugas, tapi aku menguatkan hati untuk terus berjalan melintasi FK, FKG, FKep, sampai akhirnya kutemukan dia. Fakultas Psikologi. Aku hanya menatapnya dari luar sambil mengambil foto, menitipkan harapan, lalu berjalan kembali ke Masjid.



Di bulan Januari juga aku sempat memulai satu start yang baik untuk sebuah rutinitas dengan membuat TtBC Challenge. "Trying to Be Consistent Challenge", program menantang diri sendiri untuk konsisten menulis di notes HP tentang apa saja. Pendek dan random juga tak apa, asalkan KONSISTEN setiap hari, tidak boleh terlewat, selama bulan Januari penuh.

Agak sulit juga, beberapa kali aku hampir gagal mempertahankan streak, tapi pada akhirnya alhamdulillah aku bisa menyelesaikannya, 31 hari tanpa putus satu hari pun. Itu mungkin bisa dibilang pencapaian pertamaku tahun 2020 ini dan membuatku percaya bahwa aku sebenarnya bisa konsisten jika aku mau dan punya tekad kuat untuk itu. :)



Dari tadi hanya yang senangnya saja. Apakah juga ada kekecewaaan?

Ya, ada. Meskipun syukurnya bukan hal besar. Bulan Januari itu aku mendapatkan kabar bahwa salah satu try out yang akan aku ikuti di minggu kedua Januari (kalau tidak salah) rupanya dibatalkan untuk kotaku. Aku kecewa, memang, karena aku sudah sangat menunggu momen itu dan sudah bersemangat mempromosikannya pada teman-temanku sejak bulan sebelumnya. Ya, itu try out yang diselenggarakan oleh platform yang sama dengan try out yang pernah kuikuti tahun 2019. Aku mendapatkan tiket gratis untuk tahun 2020 karena mengikui try out tahun 2019 itu, tetapi ternyata hangus karena dibatalkan. :)

Yah, tak apalah. Ada untungnya tiketku gratis, jadi aku tidak rugi secara finansial. Haha. Dan sejauh yang kuingat, hanya momen itu yang sedikit membuat hatiku kecewa di bulan Januari tersebut, selebihnya tidak terlalu kuingat dan berarti tidak terlalu berkesan. Syukurlah. :)

Terakhir, aku baru ingat. Satu hal lagi yang terjadi di bulan ini adalah saat RAWS (Reading and Writing for Souls), komunitas menulis yang didirikan Bunda Ary Nilandari, membuka pendaftaran anggota baru untuk batch 2. Aku yang sudah mengikuti info mengenai RAWS sejak tahun sebelumnya pun merasa tertantang untuk ikut. Ada sejumlah keraguan sebetulnya karena aku masih menghadapi bulan-bulan ujian, tapi kupikir kesempatan yang sama tidak selalu ada lagi. Jadi, aku mendaftar. Mengisi formulir dengan berusaha memikirkan jawaban terbaik untuk pertanyaan yang diseleksikan. Dan begitulah. Formulir itu pun kukirimkan dengan harapan untuk yang terbaik saja.

Februari

Momen yang paling kuingat di bulan ini ada tiga. Pertama, awal bulan itu aku membuka pengumuman hasil seleksi RAWS dan rupanya aku diterima. Senang, ya, karena aku memang menginginkannya dan berhasil menjadi "yang terpilih". Rutinitas baruku pun dimulai, mengikuti kelas dan mulai menyiapkan diri untuk mulai menulis di Wattpad. Salah satu momen yang turut mengubah arah jalanku hingga saat ini.

Lalu yang kedua, saat aku mengikuti kelas Cara Berpikir Sistem di komunitas Homeschooling-ku yang pematerinya diundang dari salah satu komunitas milik orang tua siswa. Kurang lebih materinya tentang konsep sistem dan seperti judulnya, cara berpikir sistem. Sistematis, struktur, dan semacamnya. Di sini, yang kulakukan bersama peserta lain adalah membuat semacam mind map di atas kertas besar berdasarkan metode yang sudah dicontohkan oleh pemateri. Simpelnya, kami harus menggambar, menempel, dan menulis. Biasanya aku tidak suka membuat yang begituan, tapi karena itu sedang 'kelas' dan suasananya cukup membangkitkan semangat, aku pun tidak protes dan membuat mind map yang disuruhkan.



Dan lagi-lagi ... 'tema' yang diambil untuk kami buat di atas kertas itu adalah tujuan, goal atau impian kami. Bedanya dari Bandung DreamIn, kali itu aku harus menggambarkan sebab-akibat dan sedikit detail dari setiap tahapan yang kurencanakan. Kespesifikan juga menjadi salah satu aspek yang penting dalam pembuatannya. Oleh karena itu, aku mencoba meluaskan pandangan dan membayangkan apa saja yang akan terjadi dalam setiap tahap menuju impianku. Tidak mentok sampai masuk Fakultas Psikologi, aku meneruskannya sampa ke tujuan yang paling mentok yang bisa kupikirkan.

Aku masih menyimpannya, tapi meskipun aku tidak pernah membukanya lagi sejak hari itu, aku ingat sekali kalau aku lagi-lagi menspesifikkan keinginanku masuk Fapsi Unpad dan nilai yang harus kudapatkan untuk masuk ke sana. Nilainya memang tidak persis tercapai, tapi alhamdulillah, aku berhasil masuk. Itu yang terpenting. :")

Salah satu pembimbing dalam pembuatan mind map itu juga kenalan mamaku. Saat mama mem-post kelulusanku dalam SBMPTN di media sosialnya, pembimbing itu mengomentari dengan menyinggung impian yang kutuliskan di mind map. Ya, Bu. Ibu yang jadi saksi, aku menuliskan impian itu di kertas tersebut ... sampai enam bulan kemudian Allah mengizinkanku mewujudkannya.... :")

Kertasku kosong karena sengaja kubalik ya, wkwkwk.

Selain kelas itu, satu lagi yang kuingat adalah bahwa aku sekeluarga menyempatkan untuk mengunjungi keluarga di kampung menjelang akhir Februari. Keliling seperti biasanya waktu Lebaran. Aku tidak terlalu ingat apa yang menyebabkan kami keliling di luar waktu lebaran itu, tapi yang jelas kami benar-benar memanfaatkan dua-tiga hari itu untuk bersilaturahmi dengan keluarga jauh. Satu hal yang belakangan sangat kami syukuri.

Kenapa aku menganggap momen itu penting?

Ya. Tepat. Karena beberapa minggu kemudian, virus covid-19 memasuki Indonesia. Menyebar dalam hitungan hari, mungkin jam. Ledakan jumlah penderita tak terhindarkan, hingga hari ini. :") Semua orang harus diam di rumah, bepergian ke manapun menjadi momen penuh kekhawatiran. Lebaran dan liburan manapun tidak bisa menjadi alasan kami untuk pergi mengunjungi keluarga jauh karena keselamatan diri dan mereka lebih penting. :")

Itulah kenapa belakangan mamaku bilang bahwa sungguh untung kami menyempatkan untuk bersilaturahmi di bulan sebelumnya. Kalau tidak 'memaksakan diri', entah kapan lagi kami bisa melihat mereka. :") 

Maret

Bulan ini jadi permulaan dari semua kesedihan tahun ini, kurasa. Aku ingat banget waktu itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Sabtu, 14 Maret adalah hari di mana aku harus mengikuti ujian tulis untuk kenaikan kelas di les bahasa Inggris. Berhubung waktu itu perintah menjaga jarak dan cuci tangan sudah diturunkan dan bahkan sudah tertempel pula di dinding kelas kami, suasana sudah mulai terasa berbeda. Jaga jarak tidak terlalu menjadi soal, kebetulan, posisi duduk kami memang harus berjauhan karena sedang ujian, haha.

Atmosfer saat pulang dari Bandung hari itu sudah terasa berbeda bagiku. Ya, siapa sangka. Esok harinya, persis sehari sebelum mestinya aku dan banyak siswa di negeri ini mengikuti USBN atau ujian kelulusan untuk SMA dan sederajat, perintah itu turun. USBN SMA dan UN SMK ditunda. Kepala sekolahku pun mengumumkan penundaan di grup kami. Kami tidak bisa datang ke komunitas untuk ujian. Campur aduk rasanya perasaanku. Antara senang karena ada kesempatan belajar lagi, kecewa dan kesal karena kehilangan kesempatan bertemu teman-teman seangkatanku di komunitas dan merasakan suasana ujian lagi, sekaligus takjub tentang betapa drastisnya perubahan gara-gara virus satu itu. Ujian kelulusan sekolah pun ditunda karena dia. Begitu saja. Satu hari menjelang hari H!

Hari-hari berikutnya pun berita-berita itu susul-menyusul datang. Bimbelku ditutup sementara, pembelajaran mengandalkan latihan soal dari aplikasi dan bimbingan melalui grup WA. Tempat les bahasa Inggrisku ditutup juga. Entahlah, aku tidak ingat lagi apakah waktu itu aku sudah sempat ujian lisan atau belum. Sepertinya sudah, tapi kalau belum, berarti ujian lisanku di-skip. :)

Seminggu sesudah ditunda, USBN dari komunitasku pun rupanya tetap jadi diselenggarakan. Hanya saja ... daring. Ujian menggunakan Google Form dan absensi dengan mengirimkan foto. Tidak terlalu menyulitkan selain ketegangan ujian yang tetap terasa. Berapa hari ujian, aku tidak ingat. Mungkin empat atau lima. Yang jelas, akhirnya ujian daring pertamaku itu berhasil kulalui dengan cukup lancar. Alhamdulillah.

Lalu, karya perdanaku di Wattpad tayang. Berupa tulisan nonfiksi dari hasil riset yang dimaksudkan sebagai landasan dalam membuat fiksi nantinya. Cukup menyenangkan dan menantang, apalagi teman-teman di RAWS sangat suportif meskipun rentang usia kami sangat beragam. Aku menghadapi deadline sekaligus tahap eliminasi pertama di akhir Maret. Cukup menegangkan juga karena aku baru menyelesaikan bab terakhir sebagai syarat lolos eliminasi persis di sore hari H. Tahap eliminasi itu menggugurkan sejumlah anggota yang tidak berhasil menyelesaikan jumlah bab mereka, tapi aku bersyukur karena berhasil lolos dari tahap itu meskipun sudah nyaris.

Di waktu itulah aku pertama berurusan langsung dengan LTMPT dengan membuat akun yang dibutuhkan untuk mengikuti UTBK dan SBMPTN. Momen di mana intensitas drama antara LTMPT dan calon mahasiswa baru mulai meningkat. Haha. :") Alhamdulillah aku berhasil menyelesaikannya sampai proses verifikasi dan permanen data yang sempat kuragukan, tapi untunglah ternyata lancar dan memang sudah berhasil permanen.

Terakhir tentang bulan ini (sesudah membongkar lagi chat WA), malam tanggal 24 Maret aku sempat membuat status di WA: "Kalau UN dihapus dan UTBK diundur entah sampai kapan, apa yang akan terjadi?"

Paginya saat aku mengecek WA lagi, ada seorang teman yang membalas status itu dengan sebuah screenshot. Aku ingat, aku syok banget waktu melihat kalau itu screenshot salah satu posting-an dari aku-lupa-dia-siapa bahwa sesudah rapat daring dengan Mendikbud, UN SD, SMP, dan SMA resmi ditiadakan. Senang? Enggak.:)

Mungkin iya ada senang sekitar 40%, tapi selebihnya itu kecewa. Kenapa? Yea, karena aku anak Paket C yang jarang ngerasain ujian langsung dan selalu menantikan momen ujian itu sendiri yang cuma terjadi tiga tahun sekali sesudah lulus setara SD. Di setara SMA, saat momen itu kuharap jadi momen ujian akhir yang berkesan, semuanya hancur berantakan. :") Mungkin aneh, tapi nyatanya memang begitu yang kurasakan. Haha.

Ya ... pada akhirnya lagi-lagi aku harus menerima fakta waktu itu dan bersyukur juga karena setidaknya satu beban ujian terangkat. Waktu itu ... tinggal UTBK. ~

April

Bulan itu adalah saat di mana aku seharusnya mengikuti Ujian Nasional di awal bulan dan UTBK di tanggal 20-an. Setelah UN ditiadakan, belakangan muncul juga berita bahwa UTBK juga diundur. Aku tidak terlalu ingat sebenarnya yang mana yang duluan, yang jelas berita itu ada. Agak kecewa karena jadinya beban ketegangannya bakal lebih lama lagi baru lepas, tapi di sisi lain senang juga karena ya ... ada kesempatan untuk berjuang lagi.

Di bulan itu juga, kalau enggak salah tanggal 8, pengumuman SNMPTN keluar. Seperti rutinitasku sejak satu-dua tahun sebelumnya, aku ikut mantengin internet, sibuk mencari daftar nama peserta yang lulus. Berbeda dari yang dulu, di tahun ini angkatankulah yang ikut seleksi, jadi aku lebih tegang sekaligus lebih antusias mencari. Beberapa waktu sebelumnya aku sudah membuat daftar nama teman-teman yang aku ketahui atau kuduga ikut SNMPTN atau SBMPTN. Saat akhirnya aku menemukan PDF yang kucari, aku memasukkan satu per satu nama ke kolom pencarian di PDF itu dan setiap menemukan satu yang lulus, aku memasukkan kode jurusannya ke Google untuk mencari tahu. Hasilnya kucatat dalam daftar nama yang kubuat itu.

ANEH EMANG, HAHA. :( Entahlah kalian, teman-temanku, kalau kalian baca ini, apakah bakal keberatan atau tidak kalau aku nge-stalk segitunya :") Kalau keberatan, maaf banget. :")

Singkatnya, dari sekian banyak nama yang ku-list, hanya sepuluh atau belasan yang lulus SNMPTN. Beberapa di antaranya teman baikku, and I did and still do, really proud of them :)

Selain SNMPTN, bulan itu, aku lupa tanggal berapa, juga keluar surat pemberitahuan dari LTMPT mengenai teknis baru UTBK. Aku ingat, saat pertama membacanya sekilas, aku tidak segera menyadari bahwa di sana tertera keterangan mengenai tipe soal ujian yang hanya TPS. Entahlah aku menyadarinya sendiri atau baru sadar setelah membaca komentar teman-teman, yang jelas begitu tahu hal itu, aku histeris, nyaris harfiah. :)

Ya, maafkan aku teman-temanku yang pro TKA. :") Pengumuman itu benar-benar jadi titik balik bagiku yang sebenarnya sudah pasrah dengan TKA yang nyaris sama sekali tidak bisa kukerjakan setiap kali try out. Kegirangan sendiri di kamar sampai mamaku kaget. Haha. Salah satu hal yang paling kusyukuri waktu itu karena terus terang saja aku memang pernah berharap, selintas saja, seandainya UTBK cuma TPS saja pasti aku bisa sedikit lebih percaya diri. Tapi aku tidak pernah berpikir kalau itu akan sungguhan terjadi! Meskipun ya ... ironisnya itu terjadi karena pandemi dulu. :")

Mei

Tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional sekaligus hari kelulusan bagi siswa SMA/SMK sederajat, termasuk kami yang Paket C. Ucapan selamat berupa banner yang turut diberikan oleh kepala sekolah membuatku speechless sebetulnya karena tidak menyangka akhirnya akan ada 'event' yang berbarengan dengan sekolah formal. Haha, agak miris.

Kalau tidak salah di bulan Mei jugalah kami pertama mendapat kabar tentang tanggal pasti UTBK. Juli. Ditunda tiga bulan dari sebelumnya. Which means sebetulnya perpanjangan waktu tiga bulan juga untuk belajar. :)

Bulan itu juga ada Lebaran Idul Fitri. Momen yang terasa berbeda karena semuanya salat Ied di rumah dan tidak ada acara mudik. Agak sedih memang, momennya jadi tidak terlalu terasa istimewa. Tapi ya ... tak apa seandainya itu akan membantu mengurangi dampak pandemi. Hm. :")

Juni

Juni mulai memasuki sebulan menjelang UTBK. Pendaftaran UTBK dan SBMPTN dibuka. Sebelumnya sebetulnya aku sempat berniat untuk menjadikan Fapsi Unpad sebagai pilihan tunggal karena aku tidak mau mengambil risiko diterima di jurusan lain. "Fapsi Unpad atau gap year" adalah tekadku waktu itu. Tetapi, mamaku tidak setuju. Menurutnya sayang jika pilihan dua dikosongkan sementara ada kesempatan untuk lulus juga di situ. Sesudah pertimbangan, pencarian, dan diskusi panjang, akhirnya aku 'mengalah' dengan bersedia memasukkan Biologi Unpad ke dalam pilihan kedua dan menyingkirkan pilihan Biologi UPI, Sastra Inggris Unpad, IPB, dan Psikologi UPI.

Di hari yang kupilih untuk melakukan pendaftaran, aku lupa persisnya tanggal berapa, kalau enggak salah di bawah tanggal 10, aku pun mulai mengisi kolom pendaftaran SBMPTN. Kolom pendaftaran serta pembayaran UTBK sudah kuselesaikan beberapa hari sebelumnya. Pilihan pertama, aku memasukkan Psikologi Unpad, tidak ada masalah. Kebingungan mulai timbul saat aku hendak memasukkan pilihan kedua.

Prodi Biologi tidak ada pada pilihan untuk Universitas Padjadjaran.

Aku bingung, mamaku juga, tapi lalu aku teringat sesuatu dan langsung mengecek web LTMPT. Ya. Syarat SMTA Biologi Unpad ternyata tidak menyediakan slot untuk lulusan Paket C tahun ini. Bukan cuma Biologi, tapi juga seluruh prodi FMIPA dan beberapa prodi lainnya. Kandas sudah. Aku tidak bisa melakukan apa-apa kalau sudah begitu. Sempat terjadi sedikit kehebohan dan kekecewaan tentang itu. Mendung juga sempat melandaku meskipun itu bukan pilihan pertamaku.

Ya, aku seperti merasakan apa yang dirasakan teman-teman yang tidak lolos syarat SMTA saat aturan itu pertama diberlakukan beberapa waktu sebelumnya.

Akhirnya, karena prodi itu tidak bisa kutembus, mama memintaku mencari pilihan lain. Pilihan univ yang diizinkan dan disarankan untukku sempit, hanya Unpad, apalagi karena situasi pandemi. Aku bisa saja mengambil jurusan Soshum, linjur, tapi prodi-prodinya tidak terlalu menarik hatiku, bahkan Sastra Inggris yang kuidamkan saat SD kehilangan pesonanya sesudah diskusi panjang sebelumnya.

Mama mengajukan lagi Teknologi Pangan, prodi yang sebelumnya sudah beliau sarankan untukku sejak kelas 12 semester 1 (atau malah sejak kelas 11, entahlah) tapi kulepaskan karena beberapa hal. Memasukkan Tekpang ke pilihan kedua sesudah pilihan pertamanya Psikologi sebetulnya agak nekat karena passing grade-nya berdekatan. Aku tidak terlalu peduli tentang itu sebenarnya meskipun bimbelku pasti akan keberatan.

Yang jadi masalah adalah prodinya sendiri. Aku tidak suka Kimia dan masih belum bisa berdamai dengan Fisika, Matematika pun moody. Padahal Tekpang bertaburan tiga materi eksak itu. Aku takut tidak sanggup. Tapi aku coba mencari info lagi. Fokus pada review jurusan. Puluhan sampai ratusan komentar tentang Tekpang kutelusuri sampai beberapa prospek menarik perhatianku dan membuatku mempertimbangkannya lagi.

Setelah berpikir keras beberapa waktu dan diskusi lagi, akhirnya aku setuju untuk memasukkannya ke dalam pilihan kedua. Lebih karena tidak ada pilihan lain di antara prodi lain di Unpad. Tanggal 10 (atau 12 Juni ya), aku kembali melakukan proses pendaftaran, hati-hati memilih prodi, dan melanjutkan proses sampai pilihanku berhasil tersimpan permanen dan kartu sudah bisa kucetak.

Drama. Ya, drama banget. :") Alhamdulillah semuanya akhirnya bisa selesai dan sangat-sangat alhamdulillah yang syarat SMTA-nya begitu itu bukan Psikologi. Kalau sampai Psikologi juga, entah gimana nasibku sekarang. :")

Selanjutnya, di bulan Juni itu juga aku sempat pergi ke luar kota kecamatanku, sepertinya untuk pertama kalinya sejak pandemi. Aku agak lupa tujuan utamanya buat apa, aku hanya ingat kalau aku mengajak papa yang pergi bersamaku waktu itu untuk mampir dulu ke Unpad. Survei lokasi. :) Sebetulnya sempat ada isu bahwa dilarang untuk melakukan survei lokasi langsung, tapi entahlah, mungkin baru di beberapa tempat, karena saat tiba di Gerlam dan menyampaikan tujuan kami ke satpam, kami tetap diizinkan masuk.

Kami naik ke odong Saintek (iya, jadinya ngelewat Fapsi lagi) bersama seorang ibu yang rupanya dosen di Biologi (waktu itu dalam hati aku tersenyum miris sekaligus geli karena berarti ibu itu calon dosenku kalau aku masuk Biologi :"). Alhamdulillah juga kebetulan bareng dosen tersebut karena dari beliaulah kami tahu cara menghentikan odong dan diberitahu juga arah ke lokasi yang kami tuju. Singkatnya, kami berhasil survei tempat dan aku memotret gedungnya untuk jaga-jaga kalau lupa.



Ya ... begitulah, semester pertama 2020 ini didominasi impian yang kelihatannya kugaungkan dalam setiap kesempatan, haha. :") Semester kedua 2020 barulah aku memasuki fase baru yang benar-benar baru bagiku, dan tentunya teramat istimewa juga. ^^

-To be continued-

Rabu, 30 Desember 2020

Resolution = Re-solution

Resolution -> Re-solution. Membuat solusi baru. Kenapa baru? Bisa karena tantangannya baru (umumnya sih, begini), tetapi bisa juga karena tantangan tahun lalu ternyata tidak berhasil ditaklukkan dengan solusi yang lama.

***

Akhir tahun itu identik dengan mempersiapkan diri untuk tahun yang akan datang. Pertanyaan tahunan itu pun bermunculan di mana-mana. "Apa harapan kamu untuk tahun 2021?" "Apa resolusimu untuk tahun depan?"

Aku bukan tipe orang yang skeptis terhadap harapan ataupun resolusi. Aku tidak menyangkal bahwa berdoa untuk kebaikan di tahun depan itu sesuatu yang bermakna.

Tetapi entahlah, rasanya ada yang salah dengan semua itu. Kenapa?

Karena  ... aku merasa kalau menengok ke masa lalu itu harus dilakukan dulu di saat-saat seperti ini. Bukan untuk kembali menyesali yang telah terjadi, tetapi untuk menelusuri lagi alur perjalanan kita. Nyatanya dalam hal ini, masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dilupakan, tetapi ia justru yang memberi kita pelajaran.

Apa hubungannya dengan resolusi dan harapan?

Ya ... sederhananya, kupikir tidak ada artinya untuk membuat resolusi baru tanpa melihat dulu apakah sebelumnya resolusi itu sudah pernah terwujud atau belum, sudah pernah dijalankan atau belum, dan kalau sudah dijalankan tapi belum terwujud, apakah caranya sudah efektif atau masih bisa diperbaiki?

Kalau mau to the point, aku cuma mau bilang kalau sebelum membuat resolusi apa pun, lihat dulu ke belakang. Sudah benarkah jalan selama ini? Sudah berhasilkah cara-cara sebelum ini? Sudah tepatkah keputusan-keputusan ini?

Buat apa dilihat dulu? Supaya kita enggak dengan bodohnya mengambil cara yang sama dengan sebelumnya dan bakal gagal lagi, membuang waktu percuma dengan mengulang ketidakefektifan yang sama. Ya, aku sedang blak-blakan banget di sini. Maaf kalau menyinggung kau yang membacanya.

Aku jadi kepikiran ini juga sesudah membaca salah satu posting-an tentang refleksi diri. Iya, refleksi. Aku juga enggak akan bilang gini dan bakal tetap membuat resolusi tanpa menoleh dulu dan mengevaluasi masa laluku setahun terakhir. Terima kasih buat pembuat post-an itu, aku lupa akunnya, but thank you so much for the reminder.

Apakah salah kalau langsung bikin resolusi saja? Tidak. Tetapi cara ini mungkin bisa membantu untuk menemukan jalan yang lebih baik, membuat keputusan dengan lebih tepat, dan membuat rencana yang lebih efisien untuk tahun berikutnya :)

By the way, sebenarnya kita bisa saja membuat resolusi setiap bulan. Kenapa harus setiap tahun? Well, tidak salah juga sih, aku pun akan lebih senang dengan resolusi tahunan dibanding bulanan. Tetapi biasanya resolusi tahunan itu list-nya panjang. Dari situlah mungkin bisa dipecah menjadi butir-butir spesifik resolusi bulanan agar lebih terarah. Ya. Ide bagus untukku juga.

Not sure I would do it effectively, though. Tetapi kalau kau tipikal orang yang terstruktur dan terjadwal mungkin bisa atau malah sudah menggunakan cara ini.

Ya .... Kupikir sekian saja dulu tentang resolusi. Musim bahasan tentang resolusi membuatku terbawa ke pemikiran ini begitu saja, sama seperti waktu yang membawaku ke akhir tahun ini seolah "begitu saja". Entahlah, apakah resolusiku sendiri awal tahun kemarin sudah tercapai atau belum. Tetapi apa pun itu, semoga untuk tahun depan aku tidak akan mengulangi kesalahan sistem yang sama :)

For you and for the world, may everything goes well on you!

Minggu, 01 November 2020

"Please Don't Expect Anything from Me"

 Beranggapan sesuatu tentang orang lain itu ... wajar enggak, sih?

"Kamu aja, 'kan kamu pinter."
"Kamu pasti udah selesai 'kan, tugasnya? Kamu 'kan rajin banget."
"Ah, kalau dia sih, pasti nilainya bagus. Dia 'kan aktif banget di kelas."

Pernah dengar kata-kata seperti ini? Atau malah ... kau pernah mengalaminya sendiri? Gimana perasaanmu waktu mendengarnya?

Dilihat sekilas ataupun dibaca per huruf dan tanda baca, kalimat-kalimat itu memang terasa manis, menyenangkan saat didengar atau dibaca. Ada perasaan kayak ... "Ah, dia sadar ya, kalau aku aktif di kelas." "Ya ampun, mereka kok bisa tahu, ya, kalau aku suka ngerjain tugas di awal waktu?"

Kayak ada yang akhirnya tahu potensi kita, tahu kelebihan kita. Kayak ada balon-balon kebahagiaan yang membesar memenuhi dada, ya 'kan? Apalagi kalau yang bilang gitu tuh, orang yang setiap tindakannya punya dampak istimewa ke hati kita. BOOM! Bukan membesar lagi kayaknya, auto meledak malahan. Terpencar ke segala penjuru, bikin jantung ikutan semangat memompa dan suhu di muka mendadak rasanya kayak bertambah berbarengan dengan sudut-sudut bibir melengkung naik....

Dududu~ .... Oke, lanjut.

Biasanya, kalimat-kalimat seperti itu bisa bikin kita jadi semangat, enggak, sih? Seperti yang kubilang tadi, ada perasaan being valued by others yang bikin kita makin antusias untuk tetap menjadi pintar, rajin, aktif, baik, dan sebagainya. Aku pernah mengalaminya juga, itu sebabnya aku bisa bilang begitu. :)

Tetapi ... bahkan hal yang oleh seluruh dunia dianggap baik saja bisa jadi suatu hari berbalik 180°, bukan?

Oh, ya, tentu saja itu tergantung sudut pandang setiap orang, pengalaman dan perasaannya yang akan memengaruhi persepsinya terhadap hal ini. Kau bisa bagikan pendapat atau sudut pandangmu di kolom komentar, ya. Di sini, aku ingin menyampaikan pendapatku yang mungkin berbeda dari kalian, jadi kalau kalian mau sharing bisa bangett.

Enggak jarang aku merasa bahwa kalimat-kalimat seperti ini cenderung menjurus pada ekspektasi orang-orang terhadap kita, berdasarkan apa yang mereka lihat dan dengar dari setiap tindakan kita. Pada satu waktu mereka melihat kita mendapat nilai A untuk satu mata pelajaran atau kuliah. Persepsi orang-orang yang positive thinking biasanya langsung: "Wah, dia pinter, ya."

Apalagi kalau beberapa kali di pelajaran yang berbeda. Makin yakinlah mereka bahwa kita itu "pintar". Apa yang mungkin terjadi kemudian? Everytime, everywhere, kalau ada urusannya dengan pelajaran, mereka akan dengan cerianya menyinggung soal kepintaran kita dan bahwa kita tidak pernah gagal mendapat nilai tinggi.

Lalu?

Berikutnya tergantung kita tipe orang yang bagaimana. Apakah jadi termotivasi untuk terus mempertahankan persepsi mereka bahwa kita ini "pintar" tadi? Ataukah ... malah merasa terbebani karena seolah harus mempertahankan agar anggapan-anggapan itu terus menyala?

Kalau kau pernah atau sedang merasakannya, aku cuma mau bilang, I feel you. Aku pernah merasakan beratnya berusaha menjadi yang terbaik hanya agar citra diri yang sudah terlihat selama ini tidak gugur. Jaga image everytime everywhere. Ah ya, aku baru sadar kalau ini memang sudah familier terdengar sebetulnya.

Aku enggak akan membahas contoh-contohnya lebih lanjut, tetapi aku cuma ingin menekankan bahwa ... ekspektasi orang itu enggak pernah mudah.

Mau masa bodoh saja? Abaikan saja, karena semua itu di luar kendali kita? Terus terang, meskipun aku senang mempraktikkan Filosofi Teras dalam beberapa kasus sejenis, dalam hal ini aku pengin banget teriak, "Gampang ngomong doang!"

Haha, bukan aku banget. :)

Ngomongin soal citra diri dan ekspektasi orang itu sulit untuk menemukan ujungnya, sih, memang. Mau ceramah tentang "enggak usah pedulikan omongan orang", "yang penting jadi diri sendiri" .... Yah, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan kagumku pada kalian yang sudah biasa menganut dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, aku sendiri cenderung memilih untuk tidak mengatakannya saat menghibur orang yang mengalami hal ini.

Mungkin itu sebabnya aku tahu bahwa aku akan jadi yang paling bingung kalau dicurhatin masalah beginian. Entahlah apakah pernah terjadi secara langsung, tetapi aku sering mendengar dan melihat orang lain mengatakannya. Aku tidak tahu apakah nasihat itu bisa efektif pada mereka, tetapi aku salut kalau mereka atau kau bisa, karena aku sangat tahu kalau itu enggak mudah. :)

Jadi, gimana? Well, bahasan ini belum selesai sebenarnya, tetapi untuk sementara aku ingin menyimpulkan sedikit saja, bahwa ... ekspektasi dari orang lain itu memang sesuatu yang enggak bisa kita hindari. Namun, di saat bersamaan, mengendalikan diri kita sendiri agar mampu mengabaikan semua itu (jika kita terganggu akan suara-suara itu) pun sangat tidak gampang. Menghindar sepenuhnya? Kalau mau begitu, sepertinya kita harus pindah ke Antartika untuk berteman dengan penguin saja.

Aku sendiri belum tahu apa solusi terbaik menghadapi kenyataan bahwa ekspektasi itu akan selalu ada. Mengatakan atau mengakui bahwa diri kita sebenarnya tidak sempurna itu sering kali menakutkan karena kita khawatir orang-orang malah akan menjauh. Enggak apa-apa. Wajar, kok, merasakan itu.

Risiko yang enggak semua orang berani ambil karena hidup ini enggak bisa Ctrl-Z. When something has happened, it means it has happened.

Ya ... mungkin kita cuma perlu beradaptasi. Membiasakan atau menguatkan diri menghadapi risiko seandainya kita memilih mengambil risiko. Juga membiasakan seandainya kita memilih membiarkan suara-suara yang tak bisa kita kendalikan terus berkicau. Itu masalah pilihan dan kekuatan setiap orang.

Jadi, dalam hal itu, aku kembalikan keputusannya padamu. Semoga apa pun itu, kau bisa bertahan dan tetap bahagia, ya. Stay safe and healthy, please, not only for yourself, but for thousands of people in this country, okay? :)